Kendati harga bakso ini terbilang cukup mahal untuk ukuran Kota Surabaya, namun tetap saja tak mengurangi jumlah pembelinya. Sejak dibuka selepas Magrib hingga tengah malam, Bakso Jagalan 87 yang ada di Jl. Jagalan, Surabaya ini terus dibanjiri pembeli. "Saya akui, memang bakso saya ini paling mahal di Surabaya. Tapi, alhamdulillah, pembelinya tetap banyak," kata H. Moch. Sutoyo (50), sang pemilik.
Untuk semangkuk bakso porsi besar, isi satu bakso goreng, satu tahu, serta empat pentol, dihargai Rp 26 ribu. Sedangkan porsi besar plus, artinya ditambah kikil atau daging iga, harganya Rp 39.000. Sedangkan porsi kecil isi satu tahu, satu bakso goreng dan dua pentol, dihargai Rp 16 ribu. Dan porsi kecil dengan kikil dan daging iga, harganya Rp 26 ribu.
"Dilihat dari nilainya memang terasa mahal, tapi kalau melihat seberapa besar porsinya sekaligus kualitas rasanya, saya rasa harga ini wajar," ujar Sutoyo yang sebagian besar pembelinya bermobil. Untuk menciptakan kelezatan itu, Sutoyo membagi rahasia, dibutuhkan bahan berkualitas. Untuk daging misalnya, ia memilih yang terbaik. "Begitu juga adonannya. Komposisi dagingnya lebih banyak ketimbang tepungnya," jelas Sutoyo yang dalam sehari bisa menghabiskan minimal 60 kg daging sapi untuk dua tempat.
Sutoyo yang berasal dari Trenggalek (Jatim) ini mengaku, perjalanan usahanya jelas tak semulus yang dikira orang. Ia pun harus melewati perjuangan panjang. Ia merintis berjualan bakso sejak 20 tahun silam, memakai gerobak dorong dan keluar masuk kampung. "Setelah seharian keliling, pas Maghrib gerobak saya parkir di Jl. Jagalan untuk menunggu pembeli datang," kata Sutoyo yang saat ini sudah membuka satu cabang lagi di Jl, Kupang Indah, Surabaya .
Perlu kesabaran untuk mendapatkan pelanggan. Hari pertama, ia hanya mendapatkan satu pembeli, esoknya dua pembeli dan seterusnya. "Pokoknya saya telateni terus. Setelah setahun nongkrong di sana, baru saya beranikan diri buka tenda. Jumlah pembelinya sudah lumayan banyak. Makin hari makin laku," kata bapak empat orang anak tersebut. Saat ini, lanjut Sutoyo, dalam sehari ia mampu mendapatkan penghasilan kotor sekitar Rp 5-8 juta.
Sejak lama kawasan Pecenongan Jakarta Pusat jadi pusat kuliner, bahkan menurut Linda (50), salah satu pedagang kaki lima di sana, sejak masa Gubernur DKi Ali Sadikin. Linda yang juga ketua pedagang kaki lima Pecenongan mengatakan, yang terbanyak adalah Chinese food-nya. "Dari ujung ke ujung. Tapi, banyak juga yang jual menu lain," katanya.
Menurut Linda, setelah toko dan kantor di Jalan Pecenongan tutup jam 17.00, barulah pedagang mulai menata dagangannya. Tenda-tenda didirikan, meja kursi disiapkan, dan setelah semua rapi, pembeli mulai berdatangan. "Tak masalah dagang di depan kantor. Sebelum kantor ada, pedagang sudah lebih dulu jualan. Saya masih ingat, Pak Ali Sadikin sangat membela pedagang kaki lima," kenang Linda pemilik warung Remaja II.
Dari menu yang tersedia, memang ada puluhan menu. Mulai dari aneka menu udang, cumi, ayam, dan sapi. Tersedia pula kangkung, bakmi goreng, nasi goreng, dan aneka kepiting. Untuk harga, "Kangkung hotplate Rp 35 ribu, bakmi goreng Rp 25 ribu, dan yang paling mahal kepiting, yaitu Rp 110 ribu. Tapi, masih lebih murah ketimbang di restoran. Di sini, kan, tidak ada pajaknya," tutur Budi, suami Linda.
Rata-rata, masakan di sana sudah punya penggemar masing-masing. "Salah satu yang disukai pembeli adalah kepiting," tutur Linda. Budi menambahkan, "Untuk pembeli yang berasal dari Maluku dan Papua, mereka lebih suka ikan."
KOMENTAR