Bila kebetulan melewati Jalan Joglo Raya, Jakarta Barat, pasti Anda akan bertemu sebuah gang bernama Sayur Asem. Ya, tepat disamping gang itu terletak rumah makan sayur asem yang telah melegenda. Selain karena sudah ada sejak tahun 70-an, rumah makan ini juga tetap dijaga bentuk bangunan aslinya hingga kini.
Rumah khas Betawi dengan lantai tanah yang ditaburi serbuk gergaji itu selalu ramai dipenuhi pelanggan. Akibatnya, jika tiba waktu makan siang, jalan sekitar rumah makan ini pasti akan sedikit tersendat akibat keluar-masuk kendaraan para pelanggan sayur asem H. Matali (49) yang mampir makan ke tempat ini.
Mengenai bentuk rumah makan ini, Matali mengaku demi menjaga warisan orangtua dan bisa dijadikan ajang nostalgia bagi para pelanggan setianya. "Selain itu, lantai tanah ini juga bikin udara di dalam jadi adem. Panas dari genting langsung diserap lantai. Jadi tidak butuh kipas angin atau AC lagi," tukas pria ramah ini.
Sekilas, sayur asem H. Matali tampak tak jauh berbeda dengan sayur asem pada umumnya. Berkuah bening, berisi beragam sayuran, mulai dari kacang panjang, terung hijau, melinjo dan daunnya, nangka muda, serta potongan oncom.
Tapi begitu dicoba, yang pertama terasa di lidah adalah rasa asam yang amat segar. Menurut Matali, ini karena pemakaian buah asam mentah yang dihancurkan dan dicampur sedikit air. "Bukan asam yang sudah jadi, tapi ini buah asam asli yang masih muda dan segar. Jadi rasanya juga segar dan kuahnya enggak keruh."
Hal lain yang membedakannya dengan sayur asem lainnya, "Bumbunya enggak dicampur terasi atau penyedap lain. Hanya pakai bawang merah dan cabai saja," terang ayah empat anak dan lima cucu ini. Tak heran, bila terasa semburat pedas dari kuahnya, meski tak sampai membuat keringat bercucuran, sehingga bisa menambah tingkat kesegaran sayur yang biasa dihidangkan selagi panas ini.
Sayur asem ini ujar Matali, selain enak dimakan selagi panas, juga enak dimakan ketika sudah dingin. "Kebanyakan sayur, kan, enggak enak kalo dimakan dingin. Nah, yang ini beda, nih," tambahnya dengan logat Betawi yang kental.
Sejak dimulai tahun 70-an, usaha yang dikelola orangtua angkat Matali ini sudah langsung mengambil hati pelanggannya. "Rumah makan ini sudah ada sejak belum ada angkutan umum selain delman. Alhamdulillah masih bisa bertahan sampai sekarang," ungkap Matali yang pada 1995 bisa naik haji dari hasil mengelola rumah makan ini.
Buka dari jam 08.00-16.00 WIB, Matali menjual sayur asem dan lauk yang beragam mulai dari tahu, tempe, ikan asin dan rempeyek udang, berkisar dari Rp 5 ribu sampai Rp 7.500. "Walau harga-harga sudah pada naik, tapi saya jarang menaikan harga. Paling setahun sekali, soalnya enggak enak sama pelanggan. Kalau cuma mikirin untung, sih, bisa saja. Tapi saya enggak bisa. Naiknya juga paling Rp 500."
Selain menjaga bentuk rumah makan, "Saya juga menjaga kualitas dengan tidak mengurangi bahan dan masih memasak dengan cara tradisional. Tapi, sekarang sudah enggak memakai kayu bakar lagi."
Dicontohkan Matali, "Nasi putih di sini beda sama nasi putih lainnya. Boleh dicoba kalau enggak percaya. Beras jenis yang sama, kalau dimasak pakai pemasak nasi otomatis akan beda rasanya dengan yang diolah pakai cara tradisional. Nasi yang dimasak secara tradisonal akan lebih "berisi". Makan sepiring saja pasti kenyang. Makanya saya enggak menyarankan pelanggan tambah nasi," imbuh Matali yang mempekerjakan 10 orang karyawan ini.
Edwin / bersambung
foto: edwin
KOMENTAR