"Selamat Pagi!" Begitu sapaan khas di RM Lele Lela, begitu Anda masuk ke sana. Tak peduli Anda datang pada pagi, siang, sore, atau malam, tetap disambut dengan ucapan, "Selamat pagi!"
Begitulah aku "mendoktrin" stafku dalam menyambut tamu di rumah makan Lele Lela milikku. Hal itu kulakukan agar para karyawan termotivasi dan produk yang disediakan selalu segar seperti segarnya suasana pagi hari.
Lela bukanlah nama istri atau anak-anakku, melainkan singkatan dari Lebih Laku. Oh, ya, kenalkan, namaku Rangga Umara. Meski usiaku tergolong muda, 31 tahun, pahit getirnya membangun usaha sudah kurasakan sejak bertahun-tahun lalu, sebelum akhirnya RM Pecel Lele Lela dikenal luas. RM ini kudirikan sejak Desember 2006. Bolehlah kini dibilang sukses. Sebab, aku telah melewati masa - masa sulit. Karena itu, aku lebih bisa menghargai jerih payahku, menghargai hidup dan orang lain.
Profesi yang kugeluti ini bisa dibilang melenceng dari pekerjaan bapakku, Deddy Hasanudin, seorang ustaz dan ibuku, Tintin Martini, pegawai negeri yang sebentar lagi bakal memasuki masa pensiun.
Dulu, cita-citaku memang menjadi pengusaha. Namun, entah kenapa akhirnya aku kuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung Jurusan Manajemen Informatika. Ilmu akademis ini mengantarku bekerja di sebuah perusahaan pengembang di Bekasi sebagai marketing communication manager di perusahaan itu.
Sayang, setelah hampir lima tahun bekerja, kuketahui kondisi perusahaan sedang tidak sehat. Hal itu membuat banyak karyawan di-PHK. Saat itulah aku tersadar, aku tinggal menunggu giliran. Karena itu aku mulai memikirkan lebih serius soal rencana hidupku berikutnya. Yang jelas, saat itu yang terpikir olehku, tak ingin lagi menjadi karyawan kantoran karena sewaktu-waktu bisa menghadapi masalah PHK lagi.
Nekat Wirausaha
Akhirnya, aku bertekad ingin membuka usaha sendiri. Sayangnya aku bingung mau berbisnis apa. Sebelumnya, aku pernah membuka beberapa usaha kecil-kecilan, antara lain penyewaan komputer, tapi bisnisku selalu gagal. Setelah kupikir-pikir, kuputuskan membuka usaha di bidang kuliner. Alasannya sederhana saja, aku suka sekali makan.
Aku memilih membuka warung seafood seperti yang banyak ditemukan di kaki lima. Modalku hanya Rp 3 juta. Uang itu kuperoleh dari hasil menjual barang-barang pribadiku ke teman-teman, antara lain telepon genggam, parfum, dan jam tangan. Sampai sekarang, barang-barang itu masih disimpan mereka, katanya buat kenang-kenangan. Istriku, Siti Umairoh yang seumur denganku, mendukung keputusanku.
Awalnya, ia pikir aku hanya berbisnis sampingan saja seperti sebelumnya, karena aku mulai berjualan sebelum mengundurkan diri dari perusahaan. Ia kaget ketika aku benar-benar menekuni bisnis ini, meski tetap saja ia mendukung.
Yang keberatan justru orang tuaku. Mungkin mereka khawatir memikirkan masa depan anaknya yang jadi tidak jelas. Maklum aku yang sebelumnya kerja kantoran dengan berbaju rapi, malah jadi terkesan luntang-lantung tidak jelas.
Warung semi permanen berukuran 2x2 meter persegi kudirikan di daerah Pondok Kelapa. Lantaran modal pas-pasan, aku mencari yang sewanya cukup murah, sekitar Rp 250 ribu per bulan. Aku mempekerjakan tiga orang, dua di antaranya adalah suami-istri. Berbeda dari warung seafood di kaki lima yang umumnya bertenda biru dan berspanduk putih, warungku kudesain unik.
Ternyata, desain unik tak membantu penjualan. Tiga bulan pertama, hasil penjualan selalu minus. Tak satu pun pembeli datang. Aku mencoba berbesar hati, mungkin warungku sepi lantaran banyak yang tidak tahu keberadaan warung tendaku itu. Aku mulai melirik lokasi lain yang lebih ramai. Kutawarkan sistem kerjasama dengan rumah makan dan warung lain, tapi selalu ditolak.
Sampai suatu hari, aku mendatangi sebuah rumah makan semi permanen di kawasan tempat makan, masih di kawasan Pondok Kelapa. Seperti yang lain, pemilik rumah makan ini juga menolak tawaran kerjasamaku. Ia justru menawariku membeli peralatan rumah makannya yang hendak ia tutup lantaran sepi pembeli. Aku menolak, karena tak punya uang. Akhirnya, ia menawarkan sewa tempat seharga Rp 1 juta per bulan. Aku pun setuju.
Mirip Pisang Goreng
Bulan pertama buka usaha, mulai tampak hasilnya. Pembeli mulai berdatangan. Aku tahu, usaha yang bisa sukses dan bertahan adalah usaha yang punya spesialisasi. Kuputuskan untuk berjualan pecel lele, makanan favoritku sejak kuliah. Ya, semasa kuliah dulu, aku rajin berburu warung pecel lele yang enak. Kupikir, orang yang khusus berjualan makanan dari lele belum ada.
Lagi-lagi, nasib baik belum sepenuhnya berpihak kepadaku. Begitu aku berjualan lele, yang laku justru ayam. Kalau menu ayam habis, pembeli langsung memilih pulang. Namun, aku tak mau menyerah. Karena aku tahu lele itu enak. Jadi, ketika para pembeli duduk menikmati hidangan, aku berkeliling meja, minta mereka mencicipi lele hasil masakan kami. Syukurlah, mereka berpendapat masakannya enak.
Dari situ, aku berusaha lebih giat untuk memperkenalkan masakan lele. Aku berusaha menonjolkan kelebihan lele yang terletak pada dagingnya yang lembut dan gurih. Untuk menutupi kekurangan tampilan fisik lele yang mungkin kurang menarik, lelenya aku baluri tepung lalu digoreng. Hasilnya? Gagal total!
Kuamati lele berbalur tepung itu. He..he..he.. ternyata memang mirip pisang goreng. Aku pantang menyerah. Kucoba lagi menggoreng lele dengan tepung. Kali ini, digoreng dengan telur dan melalui beberapa kali proses. Alhamdulillah, sukses! Pembeli makin suka makan lele olahan kami. Pelangganku yang suka makan ayam, mulai beralih ke lele tepung.
Setelah tiga bulan pindah ke tempat baru itu, pendapatan rumah makanku meningkat menjadi Rp 3 juta per bulan. Aku sangat bersyukur. Dari situ aku berpikir untuk lebih total menekuni bisnis ini. Apalagi bila dibandingkan dengan penghasilanku sebagai karyawan kantoran yang cuma "tiga koma". Maksudnya, setelah tanggal tiga, lalu "koma" Ha... ha.. ha...
Terjebak Rentenir
Tahu usahaku laris, pemilik rumah makan menaikkan biaya sewa jadi dua kali lipat, yaitu Rp 2 juta per bulan. Aku mulai merasa seolah-olah bekerja untuk orang lain karena hasil yang kuraih hanya untuk membayar sewa tempat.
Masalah bertambah lagi karena aku juga harus memikirkan gaji karyawan. Kuputar otakku guna mendapatkan uang untuk membayar gaji karyawan. Aku sudah mantap tidak akan kerja kantoran lagi. Sebab ada tiga orang karyawan yang menggantungkan nasibnya padaku.
Aku mencoba tetap bertahan, walaupun pendapatanku masih minus. Saking pusingnya, di awal 2007 aku nekat berhutang pada seorang rentenir sebesar Rp 5 juta, sekadar untuk menggaji karyawan. Aku berprinsip, dalam kondisi seperti apa pun, karyawan tetap harus diprioritaskan.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR