Bencana Merapi memang selalu penuh mistis. Seperti juga bencana yang meluluh-lantakkan puluhan rumah di desa Jumoyo ini. Cerita Nur, pada malam sebelumnya ia mendengar suara tetabuhan pertunjukan kuda lumping alias jathilan. "Tapi begitu ada yang nyamperin enggak ada yang nanggap jathilan. Anehnya warga juga mendengar suara itu."
Kisah Jumadi lain lagi. Malam itu ia justru mendengar suara organ tunggal. Namun Jumadi juga tak menemukan sumber suara itu. Bahkan, katanya, "Ada warga yang mendengar suara orang pengajian. Warga itu sampai marah karena tak diundang ke acara pengajian itu." Entah kebetulan atau tidak, setelah suara-suara miesteri itu, terjadi lahar dingin, dan anehnya, beberapa rumah di Desa Jumoyo sama sekali tak tersentuh banjir lahar dingin. Padahal sebelah kanan desa itu sudah menjadi "sungai" dan rumah-rumah porak-poranda.
Penjelasan ilmiahnya, mungkin posisi tanah di Desa Jumoyo lebih tinggi dibanding desa lainnya. Begitu juga dengan posisi tanah rumah warga yang kini sudah porak-poranda tersapu lahar dingin.
Meski demikian, rumah-rumah di Desa Jumoyo kini sudah tak berpenghuni. Pemiliknya memilih mengungsi lantaran percaya jika di Merapi hujan, pasti akan terjadi banjir lahar dingin lagi lantaran tumpukan material di lerengnya masih banyak.
Akhir Kisah Bu Mulyono
Kebahagiaan pasangan Mulyono sudah dikenal di Desa Sirahan, Salam , Magelang. Mulyono dan istrinya dikenal berhasil menjadikan 7 anaknya "menjadi orang". Ada yang jadi jaksa, polisi, dan wira usaha. Semua anaknya sudah berkeluarga. Karena itu Mulyono dan istrinya tinggal menghabiskan hari tua di rumahnya yang berbentuk limas dan dan tampak mencolok dibanding milik tetangganya sekitar. Dinding yang dicat warna kuning juga kelihatan masih baru.
"Kegiatan Bu Mul sehari-hari hanya belanja ke pasar, memasak, dan ke masjid. Sesekali datang ke pengajian," papar Hono, salah satu tetangganya. Sementara sang suami yang kelihatan juga sudah ringkih tiap pagi menengok sawahnya yang ada di pinggir desa. "Jalannya saja sudah thimak-thimik (amat pelan)," lanjut Hono.
Masih cerita Hono, pasangan ini tiap bulan tinggal menunggu kiriman uang dari anak-anaknya. "Jadi, sebenarnya, ya, tinggal memetik hasil kerja kerasnya dulu membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya."
Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain. Saat banjir Minggu (9/1) malam lalu, Bu Mul, menjadi satu-satunya korban meninggal. "Sebenarnya oleh ibu-ibu, Bu Mul sudah diajak mengungsi ketika kiriman banjir pertama datang. Ia juga sudah ke luar rumah bersama ibu-ibu yang lain. Namun baru beberapa meter dari rumah, Bu Mul kembali lagi. Sepertinya dia ingin memastikan, Pak Mul sudah tidak di rumah. Padahal Pak Mul keluar lewat pintu belakang dan mengungsi di rumah tetangga."
Saat musibah datang, Bu Mul yang sudah berada di samping rumah terseret arus. Beruntung tubuhnya tersangkut di pohon rambutan samping rumahnya. Sementara senter yang dipegang hanyut dan ditemukan masih menyala di samping rumah Hono yang jaraknya hanya sekitar 20 meter. Sayangnya, Bu Mul sudah tidak bernyawa. "Akhirnya jenazah dibawa ke rumah tetangga yang aman dan esoknya dimakamkan," kisah Hono yang rumahnya juga dapat kiriman pasir dan batu-batu besar.
Menurut Moko, salah satu keponakan Ny. Mulyono, sebenarnya pasangan ini baru sekitar 2 mingguan kembali mengungsi setelah erupsi Merapi beberapa bulan lalu. "Selama Merapi erupsi, mereka tinggal di rumah anaknya di Jakarta. Mungkin dia kangen tinggal di rumah sendiri, lalu pulang ke Sirahan."
Rumah bercat kuning itu sampai Rabu lalu masih terendam pasir. Belum ada tanda-tanda dibersihkan seperti rumah tetangganya. Namun beberapa gentengnya terlihat terbuka. Mulyono kini dikabarkan tinggal di rumah besan. Tetapi juga ada kabar ia tinggal di rumah salah satu anaknya di Salam, Magelang.
Sukrisna
KOMENTAR