Tak selamanya mendapatkan bisnis warisan akan menyenangkan dan bisa enak-enakan. Nasib Sirup Noerlen yang amat terkenal di Medan, Sumatra Utara, misalnya. Sirup ini dirintis Ny. Noerlen sejak 1985 dengan nama Markisa Asli Famili. Namun, sejak enam tahun lalu lalu bisnis yang sudah mapan ini diwariskan kepada anak bungsunya, Rachmi Novianti alias Mimi (30).
Untuk menggaet pangsa pasar baru dan memberi brand image baru, Mimi mengganti nama sirup Markisa Asli Famili dengan nama Sirup Noerlen. Yakin dengan keberhasilan ibunya, Sirup Noerlen dipasarkan ke supermarket dan toko benar lainnya. "Tapi ditolak," jelas Mimi kecewa. Tak mau putus asa, Mimi kemudian memulai mendagangkan sirup dari bawah. Yakni, menjajakan sirup resep ibunya dari pameran ke pameran. Atau hanya membuatnya ketika ada yang memesan saja.
Dengan segala perjuangannya memasarkan sirup yang diproduksinya itu, sejak tahun 2000 Mimi berhasil menjadi mitra kerja PT Telkom.Ia juga bergabung di Dinas Koperasi, Deperindag. Karena itu, ia sering diajak pameran di dalam dan luar negeri. Misalnya pameran produk Indonesia di Jakarta International Expo Kemayoran, Agro Food Expo di JCC, Asia Pacific Food Expo 2009 di Singapore Expo , Inacraft Life Styles 2009 di Kuala Lumpur Convention Centre, Peduli UKM di Plaza Medan Fair.
Inovasi baru pun dilakukan Mimi dalam menjajakan produknya. Bila umumnya menjual sirup dengan media botol, kini Mimi menjual sebagian Sirup Noerlen dalam kemasan cup minuman. "Satu cup harganya mulai dari Rp 5000 - Rp 10 ribu. Dengan kemasan ini, produk justru lebih sering laku.''
Soal rasa, Mimi berani memberi garansi, sirup olahannya berbeda dari produk sirup sejenis yang banyak terdapat di Medan dengan berbagai merek. "Kami mengolahnya secara tradisional tanpa ditambah zat pewarna, pakai 100 persen gula murni, sehingga kaya Vitamin C dan mengandung natural passiflorine yang berguna untuk kesehatan tubuh agar tak gampang sakit," paparnya.
Dengan kerja kerasnya, usaha sirup markisa rintisan ibunya, kini mampu bertahan. Per hari, Mimi mampu mengolah 100 kg buah markisa yang diproduksi dua kali dalam seminggu. Khusus hari raya Lebaran, Imlek atau Tahun Baru, Mimi bisa memproduksi hingga 3 ton sirup. Mimi kini berkonsentrasi memasarkan produknya ke Jakarta.
Di Surabaya, rumah makan Nasi Pecel Bu Kus yang terletak di Jalan Barata Jaya, tiap jam makan siang selalu dipenuhi pembeli.
Kejayaan rumah makan Nasi Pecel Bu Kus ini tentu diperoleh melalui proses panjang yang dilakukan perintinsya, Sri Banekowati dan suaminya, Kusnadi. "Waktu pertama kali buka, warung ini masih termasuk kelas kaki lima. Tapi, sekarang bisa dilihat sendiri. Siang hari, pembelinya kebanyakan bermobil," kata Dino Markiano (37) anak keempat dari mendiang Sri Banekowati.
Dino, menjelaskan, mendiang ibunya membuka usaha sejak tahun 1993, setelah ayahnya Kusnadi (nama panggilan Kusnadi dijadikan nama rumah makannya) berhenti jadi kepala desa di Madiun dan pensiun dari TNI AU.
Pada awalnya, hanya menyewa sepetak ruangan 3 x 3 meter milik perusahaan air mineral di Barata Jaya. "Karena sempit, pembeli terpaksa duduk di luar warung di pinggir jalan. Jadi kalau petugas ketertiban datang, tendanya digulung," cerita Dino yang saat itu masih kuliah di Universitas Brawijaya, Malang.
Namun, usaha itu makin hari makin berkembang. Pembeli makin membludak sehingga harus menyewa lagi lahan yang lebih luas di belakangnya. Tahun 1998 terjadilah krisis ekonomi. "Biasanya, orang bermobil makan di restoran besar, tapi karena krisis lalu beralih makan ke warung Ibu. Menu utama kami memang nasi pecel, tapi kami juga menyediakan menu lain," jelas Dino. Sayang, mendadak ibundanya mengalami kecelakaan lalu-lintas di tahun 2001 hingga meninggal dunia. "Kami semua syok, terutama Bapak," kenang Dino.
Jadi Bos
Oleh empat saudaranya, Dino kemudian didaulat menjadi penerus usaha ibunya. "Jujur saja, pada awalnya saya tergagap-gagap. Maklum saja sebelumnya, kan, saya bekerja di bidang pertambangan, tiba-tiba disuruh jualan nasi pecel, kan, repot juga," kata bapak dua anak berbadan subur itu sambil tertawa.
Mau tak mau, suka tak suka amanat keempat saudaranya harus diemban. Mind set Dino yang semula sebagai karyawan, diubah total menjadi bos warung makan dengan membawahi banyak karyawan. Untungnya, masalah cita rasa bumbu pecel sejak awal dibuat oleh sang ayah.
"Sebenarnya Ibu tidak seberapa pandai memasak, tapi justru Bapak yang pandai. Sebaliknya, Bapak tidak terbiasa melayani pembeli, tapi Ibu yang supel," imbuh Dino.
Dino pun segera berbenah dan mengembangkan insting bisnisnya. Salah satunya, merenovasi rumah makan jadi lebih asri, ruangannya pun dilengkapi AC, tempat duduk diganti lebih bagus. Pelayan juga dipilih yang terdidik dan cekatan. "Dulu, Nasi Pecel Bu Kus semi kaki lima. Tapi sejak saya pegang, semua jadi kelas restoran. Tempat cuci piring, kursi dan perlengkapan makan saya ubah. Ayah sekarang tak ikut mengelola karena sudah percaya pada saya."
Warung pecel kaki lima itu, kini memang sudah berubah jadi restoran yang bersih, bahkan memiliki empat cabang di Surabaya. Dalam waktu dekat, Dino akan menambah satu cabang lagi. Soal harga, Dino pun tak mau berubah drastis. "Sepiring nasi pecel hanya Rp 9 ribu. Porsi kecil tetap Rp 7 ribu," terang Dino yang kini memiliki 50 karyawan.
Debbi, Gandhi
KOMENTAR