Batokok Resep Nenek
Kota Padang Panjang, Sumbar, terletak 100 km dari Padang. Kota ini terkenal sebagai penghasil daging sapi segar. Hal itulah yang dimanfaatkan Zulhadi (40) untuk mengembangkan bisnis dendeng batokok. "Dulu, ibu saya jualan nasi dan bikin dendeng batokok basah. Nah, lalu saya terketuk ingin membuat dendeng serupa tapi kering, jadi bisa dibawa buat oleh-oleh orang yang singgah dari Padang," jelas Zul yang mengawali usahanya pada 1989 ketika ibunya tak berdaya lagi berjualan nasi.
Disebut dendeng batokok, karena irisan daging yang tipis itu sebelum dijemur dagingnya ditokok-tokok (dipukul-pukul, Red.) terlebih dulu. "Setelah itu dibalur asam dan dikeringkan sekitar 4-5 jam di cuaca terik. Kalau cuaca tak terik, bisa dihangati dengan api sampai kering. Setelah itu dipukul-pukul lagi baru digoreng dengan minyak panas. Setelah matang, dagingnya diangin-anginkan dulu sebelum dikemas," papar Zul yang melabeli usahanya Pusako Bundo.
Keahlian membuat dendeng batokok juga diperoleh Zul dari sang nenek, Daramah. Resep yang kini dipraktikkan Zul pun warisan sang nenek. Sebenarnya, kata Zul, dendeng bikinannya seperti dendeng pada umumnya. "Bedanya, daging yang saya pakai, daging sapi pilihan. Biasanya saya pesan daging seminggu sekali atau tergantung kalau dendeng batokoknya sudah habis dan ada permintaan. Sekali buat dendeng bisa 60 kg sekaligus," terangnya.
Satu kotak dendeng renyah dan tanpa zat pengawet ini berisi 10 potong, dibandrol Rp 90 ribu. Rahasia dendeng bikinan Zul yang manis dan asam segar ini lantaran ia pakai asam Madura. "Ketahanan dendeng ini tak lama, paling sebulan. Yang penting dendeng ini halal karena sudah ada standar dari MUI ," tegas Zul yang menitipkan dagangannya ke berbagai pusat oleh-oleh, seperti Toko Cristine Hakim, Mahkota, dan Sirley.
Selain digemari di dalam negeri, warga Malaysia juga antusias membeli. Ada yang beli sampai 10 kg untuk dibawa ke negaranya. Terlebih pada hari-hari besar keagamaan seperti Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha atau saat hendak berangkat haji.
Dengan modal awal Rp 500 ribu, pada 2003, Eva Milza (46) membuat rendang dan dendeng yang dikemas menjadi 20 kg lalu dititipkan ke beberapa tempat penjual oleh-oleh di Kota Padang. Tak dinyana, dagangan itu ludes. Ini memacu Eva untuk memproduksi dendeng lebih banyak lagi.
Kini Eva yang pandai memasak lauk khas Padang itu mampu berproduksi hingga 40 kg per hari, dalam bentuk kemasan rendang maupun dendeng yang dijual di gerainya di Jl Thamrin No. 14 Padang.
Satu kemasan dendeng bernama Asese seberat 250 gram dijual Eva Rp 100 ribu. Ada beberapa rasa dendeng buatannya. Yakni rasa lambok dan dendeng kering rasa balado. Sedangkan untuk kemasan kecil rendang kering dijual mulai dari Rp 35 ribu. "Sekarang sedang mengembangkan rendang ikan tuna bagi yang tidak bisa mengkonsumsi daging," jelas Eva.
Menurutnya, penggemar dendeng Asese kebanyakan dari Jakarta dan Batam. Karena itu, ia rajin mengikuti pameran di Jakarta dan berbagai daerah. "Banyak warga Jakarta yang ingin jadi agen. Saya pun akan mencoba menjaring rekan kerja dari luar negeri."
Debbi Safina, Swita / bersambung
KOMENTAR