Aku terpaksa menikahkan Devi dan Imr yang masih berusia muda karena sudah keburu hamil. Sejak Agustus silam, aku mulai curiga karena tak melihat Devi datang bulan. Biasannya, setiap bulan ia akan minta uang untuk membeli keperluan wanita. Ketika kutanya soal ini, Devi berkelit dan mengaku haidnya lancar saja.
Kekhawatiran dan kecurigaanku akhirnya terbukti. Di suatu malam, aku terbangun dan melihat Devi sedang tertidur. Masya Allah, kulihat perutnya membuncit. Aneh, karena aku sama sekali tak melihat ada perubahan dari cara Devi makan maupun bersikap. Muntah-muntah pun tidak, seperti halnya wanita hamil muda. Ia juga tak terlihat murung atau sedih berlebihan.
Keesokan harinya, kutanyakan lagi soal kehamilannya. Lagi-lagi Devi mengelak dan membantah. Setelah kubujuk dengan lembut dan penuh kasih sayang, akhirnya ia mengaku, "Iya, Bu, aku hamil enam bulan, dengan Imr," katanya lirih.
Devi tak menangis, meski kepalanya menunduk terus. Sebaliknya, aku menangis penuh sesal, kenapa anakku sampai kebablasan berhubungan dengan pacarnya?
Agar masalah ini tak berlarut-larut, esok harinya aku diantar Syifa dan kerabat lain datang ke rumah Imr. Kami bersyukur karena Imr beserta keluarganya menerima kami dengan baik dan siap bertanggung jawab. Atas kesepakatan bersama, ditentukanlah hari pernikahan Imr dan Devi, yakni 24 September 2010. Rencananya, akad nikah dan syukuran kecil akan dilakukan di rumahku, sedangkan resepsi perkawinan berlangsung di rumah Imr.
Sepanjang penantian menuju hari bahagia itu, Devi terlihat amat bahagia. Aku masih ingat, beberapa hari menjelang hari-H, sepulang kerja sebagai sekretaris di perusahaan pengolahan kayu, ia membantu mengupas bawang dan menyiapkan kebutuhan untuk hari pernikahan. Aku ikut bahagia karena sudah membayangkan bakal punya cucu pertama. Sayang, impian itu kini kandas. Devi justru tewas di tangan pria yang menghamilinya!
Setelah Devi tiada, aku kini hanya bisa mengenang putriku melalui buku hariannya. Buku itu kutemukan sesaat setelah pemakaman Devi. Dari buku harian ini jugalah aku tahu, Devi sangat menyayangi keluarga. Setamat SMK Jurusan Akuntansi, ia bertekad lekas bekerja untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Ia juga ingin menyenangkan orang tuanya. Bersyukur, ia diterima sebagai sekretaris di perusahaan kayu. Gaji pertamanya, utuh diberikan buatku.
Ada sejumlah ungkapan tulus yang ditulis Devi untuk Imr, yang membuatku sedih membacanya. "Aku akan membuka lembaran hidup baru bersamamu. Mudah-mudahan kaulah yang terbaik dan bisa memimpin rumah tangga ini. Ya Allah, terima kasih Kau telah mempersatukan diriku dengannya meskipun dengan cara seperti ini," begitu tulisnya.
Tiga hari sebelum ia hilang dan akhirnya ditemukan tewas, setiap habis salat Magrib aku lihat ia mengaji hingga malam hari. Namun sayang, di lembar lain di buku hariannya, kutemukan juga gambaran kesedihannya. Devi menuliskan, betapa ia juga kecewa karena pria yang dipujanya itu telah menduakan hatinya.
Yang mengejutkanku, Devi pun ternyata sudah tahu jenis kelamin bayinya. Bahkan ia sudah menyiapkan nama untuk anaknya kelak, Daffa Akhmad Baihaqi. Akibat kekejaman Imr, kini aku berharap hakim memberikan vonis seberat-beratnya karena ia tidak hanya membunuh anakku, tapi juga cucuku!
KOMENTAR