Combro Setan
Camilan berbahan dasar singkong dan berisi oncom alias combro memang identik dengan rasa pedas. Namun, apa jadinya jika makanan khas Sunda ini justru amat dominan rasa pedasnya? Ya, jadilah "Combro Setan" atau Comset. Kata "Setan" sengaja disandang untuk mendeskripsikan rasa pedasnya yang bisa membuat mata berair atau tenggorokan tercekat saat menyantapnya.
Menurut Sri Mulyani (48), pemilik Comset di Bogor, julukan Combro Setan justru datang dari pelanggan. "Waktu seorang pelanggan mencicipi combro saya yang memang sangat pedas, spontan dia bilang, 'Bener-bener Setan (sangat pedas, Red.), nih, combro!'. Ya, sudah, saya kasih nama Combro Setan," papar Sri yang juga pemilik restoran Rumah Bambu di kompleks pertokoan V Point, Bogor. Di depan pintu masuk resto Rumah Bambu itulah booth Combro Setan berada.
Sri mengaku sudah lebih dari setahun ini berjualan Comset. Ia menyadari, di Bogor sebenarnya sudah banyak penjual combro yang terkenal. Maka, ia membuat combro yang khas agar bisa menarik perhatian, yakni menonjolkan rasa pedasnya.
"Combro, ya, harus pedas. Jadi saya buat isinya (oncom bumbu cabai) lebih banyak dari biasanya. Perbandingan isinya, jika oncomnya 1 kg, cabai keritingnya 1 kg juga. Belum lagi cabai rawit utuh yang dimasukkan di setiap combro. Saking pedasnya, bisa bikin mata melotot," seloroh Sri.
Untuk menjaga kualitas, Sri selalu menyiapkan Comset-nya secara "dadakan" alias langsung digoreng. "Combro memang harus disantap saat masih panas," saran Sri. Sehingga, untuk pemesanan dalam porsi banyak, para pelanggan harus menelepon Sri terlebih dulu. Untuk menggoreng 10 Comset, Sri membutuhkan waktu selama 10 menit dengan api kecil.
Dengan harga jual Rp 2.000 per buah, setiap hari sekitar 400 buah Comset Sri ludas terjual. Di akhir pekan, jumlahnya bisa laku dua kali lipat karena pelanggan dari luar kota Bogor berdatangan. "Dessy Ratnasari dan Ario Wahab sering beli Comset di sini," aku Sri berpromosi.
Bahkan, kata Sri, Comset buatannya sudah sampai Palembang, Bengkulu, dan kota-kota lain di luar Jawa. Untuk pemesanan jarak jauh, Sri pun mempersiapkan Comset mentah yang tinggal digoreng. Namun, "Comset yang belum digoreng cuma tahan 4 jam," ujar Sri yang belum berniat membuka cabang karena masih belum mampu mengontrol kualitas Comsetnya.
Bagi penggemar gorengan, tentu tak asing dengan gehu. Ya, gehu adalah tahu goreng berisi potongan tauge dan wortel. Terkadang ada juga yang menambahkan bihun dan daging cincang di dalamnya.
Nah, berbeda dengan gehu biasa, di Bandung ada gehu setan alias super pedas yang saat ini sedang digemari. Gehu pedas ini juga berisi tauge dan wortel. Namun istimewanya, ada rasa sangat pedas di dalamnya karena ditambahkan cabai yang ditumbuk kasar. Tepung untuk membalut tahunya pun terasa pedas karena diberi cabai.
Tak sulit mendapatkan gehu ini. Jika kebetulan sedang melewati Jalan Pajajaran, Pasir Kaliki (Paskal), Bandung, pasti akan bertemu para penjual gehu pedas ini.
Menurut Firman (30), penjual gehu pedas di Paskal, sudah setahun ia menjual makanan ringan ini. Awalnya, ia menjualnya di kawasan Gegerkalong (Gerlong). Jualannya laku keras, bahkan dalam sehari bisa ludas hingga 200 buah gehu.
Berawal sebagai pegawai di mini market, Firman lalu berubah haluan jadi penjual gehu pedas. Pasalnya, Bandung adalah pusat jananan. "Semua ada di sini, jadi kenapa saya enggak jual makanan saja? Kebetulan ada teman yang mengenalkan resep bumbu gehu pedas ini," papar Firman yang membeli resep itu seharga Rp 15 juta.
Resep yang ia rahasiakan ini rasanya memang lezat dan mantap. "Baik tahu maupun bumbunya saya pakai berdasarkan resep," ujar Firman yang kini sudah membuka cabang di tiga tempat karena pembelinya kian berjubel.
"Di dalamnya saya isi wortel, bihun, dan bumbu cabai merah. Tahu yang sudah diisi, saya masukkan ke adonan tepung terigu berbumbu pedas. Jadi, rasanya benar-benar pedas," tutur Firman yang menamakan gehunya Hot Jeletot.
Saking lakunya, Firman pun mulai membuka sistem waralaba, yang kini sudah ada 10 cabang di Bandung. Dengan modal Rp 10 juta, pembeli waralaba Gehu Hot Jeletot sudah dapat gerobak dan bahan baku. "Pewaralaba bisa untung Rp 100 dari setiap tahu yang laku," papar Firman yang kini sudah memiliki 20 pegawai.
Menurut Firman, jika ingin berbisnis, harus selalu inovatif dan kuat mental. "Banyak yang minta franchise di luar kota, tapi saya belum berani karena kendala di bahan baku. Saya juga tidak mau mengurangi kualitas rasa, meski harga cabai terus naik," kata Firman yang bisa meraup untung Rp 15 juta per bulan.
Banyaknya cabang tak membuat Firman kesulitan melakukan pengawasan. Tinggal menghitung berapa jumlah tahu yang laku. "Jadi saya enggak akan bisa dibohongi," tandas Firman.
Tarmizi, Nove / bersambung
KOMENTAR