Sesungguhnya, tahun ini aku sedang senang-senangnya memiliki rumah baru. Meski hanya berukuran 8 meter x 4 meter dan belum memiliki teras dan dapur, tapi tak masalah buatku. Untuk memasak, aku masih bisa memanfatkan ruang tengah.
Aku dan suamiku menempati rumah mungil dan sederhana di Dusun Pangkalan Ranjau, Desa Tanjung Lebar, Batanghari, Jambi, sejak dua bulan lalu. Meski hanya ada satu kamar tidur, tapi bisa kami tinggali bersama anak semata wayang kami, Aditya Ramadhani (3), dan adik laki-lakiku bernama Al (21).
Pernikahanku dengan Redi, pria perantauan asal Padang terjadi empat tahun lalu. Sejak kami menikah, memang sudah sering timbul percekcokan. Pangkal masalahnya, tak pernah jauh dari masalah perempuan.
Sebelum menikah, suamiku memang terkenal suka berganti pacar. Aku pun kala itu sempat dua kali menolak cinta Redi. Tapi pada kedatangannya yang ketiga, aku melihat ia amat bersunguh-sungguh, jadi aku mau menerima lamaran operator gergaji mesin itu.
Tiga bulan setelah cintanya kuterima, kami menikah di rumah kakakku di Tembesi, Batanghari, lantaran ayahku, Burhanudin, sudah meninggal. Demikian pula ibuku Suparmawati, asal Jawa Barat, sudah meninggal 19 tahun lalu. Aku dan lima saudaraku selama jadi yatim-piatu, diasuh paman.
Saat menikah, Redi hanya datang seorang diri. Tak satu pun keluarganya dari Padang yang datang. Mengingat ia orang perantauan, kami terima saja ia apa adanya. Setelah menjadi suami-istri, ternyata Redi mulai berulah. Omongan dan kelakuannya sangat kasar. Tiap kali marah, aku sering dipukuli di bagian badan atau kaki.
Ia juga bukan suami yang bertanggung jawab. Misalnya, saat aku melahirkan Aditya, ia tak mau membayar uang obat dan perawatan persalinanku. Terpaksalah aku harus berutang untuk bisa membawa anakku pulang ke rumah. Malu sekali aku pada tetangga, masak ibu baru seperti aku tak kuat menebus bayinya?
Yang lebih sadis lagi, tiap kali ia marah, selalu melontarkan kata usiran terhadapku, tapi tak boleh membawa Aditya. Ibu manalah yang mau berpisah dengan anaknya? Sebenarnya, sih, aku tak keberatan angkat kaki dari rumah. Syaratnya, harus bersama Aditya dan Al, adikku. Tapi Redi bersikeras aku harus angkat kaki tanpa Aditya!
Aku, kan, yang mengandung dan melahirkan Aditya. Aku ini ibu kandungnya, darah dagingnya. Mana bisa aku hidup tanpa Aditya? Karena itu, demi kebersamaanku dengan Aditya mau tak mau aku harus bertahan. Aku berkorban perasaan seperti itu dan bertahan hingga tiga tahun lamanya!
Peristiwa nahas yang menimpaku Jumat (26/11) pagi itu adalah puncak perselisihan kami. Menurutku, perbuatan Redi sudah direncanakan sebelumnya. Betapa tidak? Pagi itu Aditya sengaja diajak adik Redi mandi di sungai. Nah, saat itulah Redi kembali mengancamku agar minggat dari rumah tanpa Aditya.
Padahal, pagi itu aku sedang menanak nasi dan akan membuat sambal. Aku jelas menolak diusir dari rumahku sendiri tanpa anak di pelukanku. Aku amat sangat keberatan. Lagi pula, kenapa aku harus pergi dari rumah itu? Aku, kan, juga punya andil membangun rumah itu.
Uang yang dipergunakan untuk membeli tanah dan membangun rumah itu adalah uang hasil ganti rugi yang diberikan Pemda, setelah rumah kontrakan kami di dekat pasar sebelumnya ludas dilalap si jago merah. Uang ganti rugi itulah yang kami belikan tanah seluas 200 meter seharga Rp8 juta. Sisanya, kupakai untuk membangun rumah yang sekarang kami tinggali.
Al pun ikut menyumbangkan tabungannya yang dikumpulkan dari hasil memetik kelapa sawit.
Jadi, ketika Jumat pagi itu aku diusir, aku tetap bertahan. Tapi, tanpa kusangka Redi justru keluar rumah. Pulangnya, ia malah membawa bensin dan langsung dituangkan ke semua sudut rumah.
Dan, blup... bensin itu menyambar bara di tungku tempatku menanak nasi. Api yang membesar langsung menyambar tubuhku. Kontan aku berteriak kesakitan karena kaki, tangan, dan punggung terbakar. Aku sempat berguling-guling di depan pintu dan halaman, tapi api tak kunjung padam.
Apesnya, saat itu aku mengenakan celana jins model pensil yang ketat di kaki. Aduh, panasnya luar biasa karena celana dan bajuku terbakar hingga meleleh di kulitku. Aku sempat melihat kaki Redi juga terbakar. Begitupun kaki Al yang sedianya akan menolongku, ikut terbakar meski tak terlalu parah.
Yang membuatku makin sakit hati, Redi bukan menolongku, tapi justru kabur bersama Aditya dengan mengendarai motor. Sampai saat ini pun, Redi masih menghilang entah ke mana. Bahkan aku pun tak tahu di mana keluarganya berada. Dari sinilah aku menduga kuat, kejadian ini sudah direncanakannya. Aditya sengaja disingkirkan saat ia akan membakar rumah.
Sukrisna / bersambung
KOMENTAR