Betapa kagetnya Siti Warliah (42) ketika Jumat subuh (19/11) membaca running text (teks berjalan) di teve, isinya "Kikim Komalasari, TKW asal Cianjur meninggal dunia di Arab Saudi karena dibunuh majikannya." Ia gundah, "Kikim benar nama adik saya. Dan dia berasal dari Cianjur," kata Siti yang akrab disapa Wiwin.
Meski begitu, Wiwin masih ragu, benarkah itu adiknya? Apalagi teks berjalan itu hanya sepintas saja. Tak ada lagi kabar lanjutannya. Ia hanya berharap, kabar duka itu tak benar-benar terjadi. Meski begitu, berita ini tentu saja mengagetkan keluarga Kikim yang tinggal di Kampung Cipeyem, Ciranjang, Cianjur. Isak tangis merebak. Apalagi ketika petugas Disnaker mengabarkan, memang benar Kimim lah yang meninggal.
"Setelah itu, banyak pejabat datang. Mulai dari kepala desa, camat, dan Pak Bupati. Yakinlah saya, Kikim benar-benar sudah meninggal," tuturnya. Wiwin menambahkan, "Saya tak menyangka, nasibnya begitu malang." Kabar ini pun sampai ke telinga suami Kikim, Ali Nurjaman dan tiga anaknya.
Sering Telepon
Wiwin sama sekali tak menduga adiknya bakal meninggal dengan cara mengenaskan. Kabar yang ia terima belakangan, adiknya dibunuh majikan dengan cara dipotong lehernya lalu mayatnya dibuang dekat tong sampah umum di Kota Abha. "Saya tak menduga majikannya berbuat sejahat itu."
Masih lekat dalam kenangan Wiwin ketika Juli 2009 silam, Kikim pamit berangkat ke Arab Saudi. "Selama ini, Kikim ibu rumah tangga biasa. Suaminya kerja di bengkel di Sukabumi. Hidupnya memang sederhana. Ia ingin menambah penghasilan keluarga. Ia ingin, anak-anaknya bisa sekolah tinggi."
Sudah tiga kali Kikim mendaftar ke PJTKI untuk berangkat ke Arab Saudi. Namun, sebelumnya ia tak lolos tes kesehatan. Baru yang ketiga kali ia bisa berangkat, setelah menunggu beberapa bulan di penampungan Jakarta. Wiwin yang termasuk paling dekat dengan adiknya berkata, sebulan setiba di Arab, Kikim mengontaknya.
"Awalnya yang bicara majikan perempuannya, pakai bahasa Arab. Saya tidak mengerti, mungkin artinya, 'Ini saudaranya Komala?' Saya jawab iya. Kemudian Kikim yang bicara," papar Wiwin.
Sungguh lega Wiwin mendengar suara adiknya dari seberang sana. Apalagi Kikim mengatakan, "Ia kerasan tinggal di sana. Majikannya baik. Tugasnya mengurus 5 anak majikannya. Saya dan keluarga jadi tenang."
Beberapa bulan kemudian, Kikim kembali menelepon Wiwin. "Sekadar tanya kabar. Terutama soal Fikri (5) anak bungsunya. Ia sempat cerita, selama ini gajinya lancar tiap bulan. Tapi, ia tak menyebut jumlahnya. Saya bilang, kenapa enggak dikirim ke kampung? Katanya, nanti saja kalau sudah terkumpul. Toh, ia ingin pulang setelah setahun kerja."
Beberapa waktu kemudian, Kikim kembali telepon. "Katanya, majikannya enggak keberatan ia pulang setelah setahun kerja. Kan , nanti bisa balik lagi ke Arab. Saya makin tenang. Dia juga bilang, tak pernah ada masalah dengan majikannya. Kondisinya juga sehat."
Itulah terlepon yang terakhir diterima Wiwin. "Sebab, telepon di rumah saya rusak. Saya sudah lapor Telkom supaya diperbaiki, bahkan sampai tiga kali. Saya katakan punya saudara di Arab dan kami butuh komunikasi. Tapi, sampai sekarang telepon di rumah masih rusak."
Meski begitu, Wiwin tenang-tenang saja. Kabar yang selama ini diterima, sungguh membuatnya lega. "Saya tidak cemas dan yakin dia baik-baik saja. Apalagi, saya pernah ngobrol sama majikan perempuannya. Kalau majikannya enggak baik, masa iya Kikim diperbolehkan menelepon ke rumah?"
Namun, dugaan Wiwin ternyata keliru. Ia memang kembali dapat kabar dari adiknya. Tapi, yang datang adalah kabar buruk. "Saya sempat berpikir, apakah dia pindah majikan dan majikan barunya berlaku buruk. Kalau dia masih ikut majikan lama, berarti majikan prianya yang jahat. Saya ingin dapat kejelasan tentang nasib adik saya. Mudah-mudahan, jenazahnya segera bisa kembali. Kami berencana menguburkannya di makam keluarga," kata wanita berprofesi guru ini.
Wiwin pun hanya bisa mengenang adiknya yang pendiam itu. "Saya masih ingat, sebelum berangkat, ia sebenarnya berat meninggalkan rumah. Terutama pada si bungsu yang sakit-sakitan. Waktu itu, Fikri kena bronchitis, sakitnya sering kambuh. Ia berpesan agar saya menjaganya. Karena sibuk mengajar, Fikri diasuh keluarga lain. Untunglah Fikri sekarang sudah sehat."
Sebelum kabar duka ini terdengar, Wiwin tak menangkap firasat buruk. Hanya saja, beberapa hari terakhir ini, ia kerap terbayang wajah adiknya. Ada keinginan untuk meneleponnya, "Enggak tahu kenapa, saya mengurungkan niat itu. Mungkin, itulah pas dia mengalami musibah," ujarnya pilu.
Wiwin mengatakan, "Suami Wiwin yang mungkin merasakan pertanda enggak baik. Tanpa tahu sebabnya, pigura foto pengantin jatuh. Suami Wiwin juga jadi suka mengelus-elus foto itu," katanya.
Kini, Wiwin dan keluarganya berharap, kasus ini tak berhenti begitu saja. "Kami sekeluarga ingin majikannya mendapat hukuman setimpal. Kami memang tak bisa memantau jalannya sidang. Tapi, kasus ini harus diselesaikan secara hukum," harap Wiwin.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR