Peraturan itu sebetulnya sudah lama ada. Tapi seperti biasa, karena tak ada sanksi tegas, masih ada saja produsen susu formula (sofur) untuk anak usia dua tahun ke bawah yang dipromosikan. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mulai tahun depan, kata Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih, tak boleh lagi ada iklan sufor jenis itu, baik di media cetak, elektronik, billboard, serta media out door.
Peraturan pemerintah (PP) itu nantinya mengharuskan seluruh RS, dokter, bidan, dan orangtua memberi air susu ibu alias ASI pada bayi berusia di bawah 2 tahun dan melarang pemberian sufor. Pada dasarnya, setiap bayi berhak dapat ASI eksklusif selama enam bulan. Pengecualian hanya diberikan pada ibu atau bayi yang mengidap kelainan.
Jelas, banyak pihak merasa gembira dengan gebrakan Bu Menteri. Seperti kata pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Huzna Zahir, sebenarnya aturan iklan sufor sudah jelas tercantum dalam PP Label dan Iklan Pangan Bayi No. 69/1999. "Yaitu tidak boleh mengiklankan di media massa untuk makanan bayi khususnya susu formula usia 0-1 tahun dan memang ditaati oleh produsen susu dan praktis memang tidak ada."
Hanya saja, lanjutnya, "Kalau dilihat lebih jeli lagi, yang marak terjadi adalah iklan sufor untuk bayi di atas 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun ini menggunakan merek atau kemasan yang menyamai sufor untuk bayi di bawah 1 tahun sehingga agak bias, dan mau tidak mau bisa mempengaruhi konsumen untuk selalu ingat akan iklan ini. Tentunya ini merugikan konsumen."
Yang juga terjadi dan menjadi masalah selama ini, tambahnya, adalah bentuk promosi dan penjualan di luar media massa gara-gara pengawasan kurang ketat. Padahal, jelas-jelas soal promosi sufor jenis ini sudah ada aturannya. "Masih banyak sarana kesehatan dan peralatan atau aksesoris menggunakan merek atau nama produsen sufor, padahal memang tidak boleh ada dan dilarang. Nah, celah-celah seperti ini yang tidak boleh lagi ada jika sudah dirumuskan dalam RPP, sehingga aturannya lebih jelas dan sanksinya pun tegas," ungkap Huzna.
Yang tak kalah gembira adalah Farahdibha Tenrilemba, KL (31). Sekjen AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) ini menekankan, pihaknya bukan hendak menyalahkan produsen sufor. "Kami hanya berusaha menyeimbangkan informasi agar para ibu bisa mencari yang terbaik bagi buah hatinya. Di milis AIMI pun banyak sekali para ibu curhat soal bayinya yang baru lahir langsung diberi sufor tanpa ada pemberitahuan."
Jika telanjur begitu, "Sebetulnya si ibu bisa bilang, 'Saya ibu menyusui, bayi saya harus dapat ASI eksklusif. Di luar ASI, jangan diberi apa pun.'" Itu sebabnya Dibha menegaskan pentingnya pihak RS harus tanda tangan bila mereka melanggar hal itu, "Bukan si ibu yang tanda tangan menyatakan setuju bayinya diberi sufor. Jika, terjadi sebaliknya, si ibu bisa menuntut. Ada, kok, aturannya. Pihak mana pun yang berusaha menghalangi pemberian ASI, bakal kena denda Rp 100 juta dan 1 tahun penjara, baik perorangan maupun institusi."
Demi bayi mendapat haknya akan ASI, AIMI juga sudah mengantungi SK bersama tiga menteri. Isinya? "Tiap perusahaan diimbau menyediakan pojok laktasi (nursing room) agar ibu bisa memerah susu dengan nyaman dan disediakan waktu memerah lebih dari satu kali. Tapi belum ada sanksinya, sih, jika perusahaan tidak menyediakan hal itu."
Bahwa bayi "dijejali" sufor tanpa izin ibunya, pernah dialami Erfi Nizar (33). "Saat melahirkan anak pertama, saya masih lugu, menurut saja saat perawat menyarankan istirahat dan berjanji akan merawat bayi saya. Anehnya, saya hanya dipanggil tiga kali dalam waktu 24 jam. Katanya, saya akan dipanggil kalau bayi saya haus." Bahkan, anak keduanya pernah diberi air gula. "Saya jelas kaget dan minta bayinya sekamar dengan saya. Jadi, mau menyusui kapan saja, bisa dilakukan tanpa menunggu dipanggil. Untungnya saya sudah bergabung dengan milis AIMI, jadi sudah tahu langkah apa yang harus diambil," kata Erfi seraya menyarankan para ibu melapor ke AIMI jika mendapati hal tak mengenakkan atas bayinya di RS.
Kisah sedih tak bisa menyusui pun dirasakan Nina Firstsavina (33). Ibu tiga anak ini sejak melahirkan anak pertama hingga ketiga memang kesulitan memberi ASI. "Padahal sudah melakukan berbagai cara, ASI yang kerluar cuma 30 ml." Akhirnya, ia terpaksa memberi sufor untuk bayinya sejak dari RS. Nina dan suami pun sedih jika ketiga anaknya kerap disebut 'anak sapi' karena minum sufor.
Berbeda dengan kisah karyawati salah satu bank asing, Dewi Citrowati (29). Ia justru amat didukung pihak RS untuk memberi ASI, kendati bayi perempuannya harus berada di ruang NICU tak lama setelah dilahirkan. "Pihak RS sangat mendukung dan memberi saya pompa ASI agar tetap bisa memberi ASI."
Swita, Nove / bersambung
KOMENTAR