Rabu (13/10) pagi itu, kakiku terasa sakit sekali. Lututku bengkak akibat dipukul palu oleh Bapak beberapa hari lalu. Belum lagi badanku meriang akibat luka lain di tubuhku yang belum sembuh benar karena perlakukan kasar Bapak. Selalu ada saja kesalahan yang menurut Bapak aku lakukan sehingga aku disksa dengan kejam.
Dengan wajah biru lebam dan berjalan terpincang-pincang, aku nekat berangkat ke sekolah yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Sekolah adalah tempat pelarianku dari kekasaran Bapak di rumah. Di situ aku bisa beristirahat sejenak dan berkeluh kesah kepada guruku, Bu Yuliana. Dengan memberi isyarat menunjuk luka di bagian tubuhku saja, Bu Yuli mengerti, ada luka baru yang didapat dari perlakuan Bapak.
Bu Yuli amat maklum jika di kelas aku hanya melamun dan tak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran. Sungguh, di sekolah aku hanya mencari ketenangan. Beberapa kali aku mengikuti ulangan, tapi tak ada satu soal pun yang bisa aku jawab. Itu pula yang membuat Bapak marah. Habis, mau bagaimana lagi? Pikiranku sepertinya sudah buntu akibat pukulan dan bentakan bertubi-tubi yang kerap Bapak lakukan.
Aku yang seharusnya duduk di kelas 6 SD, sekarang masih berada di kelas 3 SD karena tiga kali tak naik kelas. Bu Yuli sering menangis setiap mendengar ceritaku. Ia sering membesarkan hatiku.
Hari itu agaknya kesabaran Bu Yuli sudah habis. Sambil menangis, Bu Yuli melaporkan keadaanku ke polisi. Bu Yuli tak tahan lagi melihat keadaanku yang amat parah. Di antara mata dan cuping hidung, ada luka mengering akibat disulut obat nyamuk bakar. Lalu bibir jontor karena pukulan, dua luka tusukan lidi di dagu, dua sayatan bekas benda tajam di perut, sejumlah sundutan rokok di kaki, ditambah warna biru lebam akibat cubitan di sekujur tubuhku.
Masih berseragam sekolah, polisi langsung membawaku ke UGD RSUD Soewondo, Kendal. Seluruh tubuhku diperiksa lalu dirawat dengan baik dan sabar oleh polisi wanita, Bu Saadatul Abadiyah, anggota Tim Perlindungan Perempuan & Anak Kendal, juga para suster di rumah sakit.
Mereka banyak bertanya, namun aku lebih sering terdiam. Rasanya, aku sudah mati rasa. Air mataku pun sudah habis untuk meratapi penderitaanku ini. Selama dirawat di rumah sakit, aku merasa nyaman dan aman. Berbeda sekali dengan di rumah. Di sini aku diberi banyak makanan dan minuman. Menurut dokter yang memeriksaku, aku kekurangan gizi.
Ya, aku senang berada di rumah sakit. Terutama senang pada Bu Saadatul yang memperhatikan dan menganggapku seperti anak sendiri. Kasih sayangnya mengingatkanku pada ibuku, Khotimah (32), yang sudah sekitar tiga tahun bekerja menjadi TKW di Malaysia.
Aku rindu sekali pada ibuku tapi kata Bapak, Ibu sudah sulit dihubungi dan tidak mau pulang. Ketika Ibu masih tinggal bersama kami, ia memang kerap bertengkar dengan Bapak. Pernah pula Ibu ditempeleng Bapak.
KOMENTAR