Minuman ini khas dari area makam raja-raja Mataram, di Imogiri, Bantul. Munculnya istilah wedang uwuh (sampah) karena sebagian ramuannya berasal dari rontokan daun pala dan daun cengkeh kering di kompleks pemakaman itu. Kenapa harus menunggu daun yang berguguran? Sebab, di makam itu tak seorang pun diperkenankan memetik dedaunan dari pohon yang tumbuh rimbun di dalam kompleks pemakaman. Jadi, para abdi dalem dan masyarakat hanya menunggu sampai daun berguguran.
Ihwal adanya wedang uwuh konon bermula dari kebiasaan para juru kunci makam yang merebus daun kering itu untuk dibuat minuman untuk diri sendiri, keluarga, dan akhirnya disajikan untuk para tamu terhormat yang mengunjungi makam. Pada perkembangannya, jadilah wedang khas Imogiri.
Tak hanya daun yang diseduh lalu direbus. Agar nikmat, ditambahkan kayu manis dan jahe yang dimemarkan, juga ditambah gula batu saat akan diminum. Setelah didiamkan selama tia menit, wedang berubah warna jadi kemerahan, tanda siap diminum. Rasanya segar, baunya sedap. Tak ada rasa sepat sama sekali, apalagi getir.
Semula, yang bisa memperoleh daun-daun itu hanya juru kunci makam dan keluarganya (ada sekitar 150 juru kunci) tapi karena banyak yang suka, orang yang ingin memiliki daun kering harus memesan kepada sang juru kunci. Belakangan, daun-daun itu dikemas dalam kantong plastik kecil dan diperdagangkan oleh beberapa warga Imogiri dengan harga Rp 1.000 per bungkus.
Sri mengaku berjualan wedang uwuh sejak tahun 50-an. Pihak keraton sebetulnya tak rela minuman ini disebut wedang uwuh. "Dahulu minuman ini sering disebut wedang jahe cengkeh, kok sekarang dibilang wedang uwuh, ya?" Yang jelas, mudah ditemui di mana-mana. Agus, anak Sri yang juga juru kunci makam, tidak khawatir dengan perkembangan itu. Ia yakin, yang berasal dari dedaunan Makam Imogiri memiliki cita rasa yang berbeda. "Kami lah pembuat wedang uwuh yang asli. Daun dari makam diyakini banyak berkah dan petuah. Daun dari perkebunan lain beda khasiatnya," katanya mantap.
Tiga sekawan ini usianya masih tergolong belia. Tetapi bisnis yang mereka miliki patut diperhitungkan lantaran memiliki prospek yang bagus. Adalah Ica Yuanisa (19), Endika Satrio Wibowo (20), dan Andityo Triutomo (20), mahasiswa Prasetya Mulya yang bergelut di bisnis moci. Keseriusan mereka berbisnis baru dimulai Februari 2010.
Berawal dari tugas sekolah di Prasetya Mulya, Jakarta, mereka harus membuat sebuah bisnis. Dipilihlah moci yang beda dari moci yang sudah ada selama ini. Bedanya, moci, dipadukan dengan es krim, sehingga bisa menjadi makanan penutup.
Awalnya, mereka kesulitan medapatkan resep moci yang lengkap, sebab di beberapa buku resep tidak ada yang mencantumkan bahan moci secara lengkap. Karena itu kemudian Ica memproduksi moci yang memiliki ciri khas sendiri. Kini moci bikinannya sudah diberi label Mochewy. "Produk kami unggul di kulit mocinya. Selama ini moci import kulitnya keras karena melalui proses dibekukan dulu, sementara yang kita tahu, moci itu kan, kenyal. Nah, Mochewy buatan kami kenyal dan tidak keras. Di dalamnya dingin karena ada es krimnya," tutur Ica yang juga membuat es krim sendiri.
KOMENTAR