Bisnis aneka minuman tak pernah kehilangan pelanggan. Mulai dari jenis minuman hangat maupun dingin. Ada yang sekaligus menjual "khasiat" di belakang minuman racikannya, ada pula yang hanya mengikuti selera pembeli. Satu hal yang pasti, masing-masing memiliki ciri khas serta kreativitas yang memang diperlukan oleh seorang wiraswastawan sejati. Berikut beberapa di antara mereka.
Wedang Pun Punya Istana
Bila mengunjungi Semarang (Jateng), cobalah bertandang ke Istana Wedang (IW) di kawasan Jalan Pemuda. Istana ini menyediakan 10 macam wedang, diantaranya wedang ronde, sekoteng, sampai kacang tanah. ''Yang jadi favorit pengunjung wedang ronde, karena enak, hangat, dan legit," jelas Happy Handayani (60), sang pengelola.
Berdiri tahun 1979, Happy mengawalinya dari sebuah garasi. "Yang merintis mertua saya, Rita (85). Tapi dulu jualan utamanya baju anak-anak baru sorenya kami jualan wedang ronde, pisang goreng, dan makanan kecil lainnya." Rupanya justru wedang rondelah yang maju pesat. Arena jualan pun pindah ke rumah utama. "Toko bajunya akhirnya ditutup." Lambat laun menu jualan pun bertambah dengan menjual makanan "berat", berupa aneka nasi dan lontong, sesuai keinginan pelanggan.
Karena faktor usia, Rita tidak lagi terlibat dan Happy diberi kepercayaan meneruskan. "Kebetulan saya ikut terlibat sejak awal. Mulai melayani pembeli hingga tukang belanja ke pasar, sehingga saya makin tahu. Kini 100 persen usaha ini saya yang urus," kata ibu satu anak ini.
Rahasia nikmatnya wedang ronde dari IW ini karena dibuat dadakan. Begitu ada yang beli, langsung diracik. Karena itu Happy menempatkan satu karyawan khusus yang menangani wedang ronde. "Biar pembeli tidak lama menunggu,'' katanya sambil menyebutkan, sehari ia bisa menjual 150 mangkuk wedang ronde.
Ada juga wedang klengkeng yang diolah sendiri oleh Happy. "Klengkeng dikupas, direbus, dan dikeringkan. Klengkeng yang sudah diproses, baru diseduh saat wedang disiapkan. Menyajikannya dengan dibubuhi serutan agar-agar,'' kata Happy membuka rahasia olahan kelengkengnya.
Bisa jadi, banyaknya pembeli yang datang juga lantaran IW menempati bangunan tua peningalan zaman Belanda sehingga terlihat mencolok di deretan gedung modern di daerah itu. Sayangnya, tempat ini hanya bisa menampung sekitar 50 orang, sehingga bila pengunjung membludak Happy harus mengeluarkan bangku dan meja plastik. Agar pembeli bisa mengakses wedang ronde buatannya di berbagai tempat, Happy membuka empat cabang sekaligus.
Maju Bekat Si Ayu
Warung es dawet Cah Mbanjar milik Hafiz Khairul Rijal (26) di Jl Setia Budi Medan, sehari-hari selalu ramai didatangi pembeli. Ayah dua anak itu juga memiliki 250 gerobag es dawet Ayu asal Banjar yang tersebar di berbagai kota. Mantan penerjemah untuk PBB yang ditempatkan di Aceh ini memang berjiwa pedagang. Ketika melihat penjual es dawet Ayu di dekat rumah temannya, ia pun minta diantar menemui bos pemilik usaha itu.
Dari juragan es dawet yang bernama Parjo, Hafiz belajar membuat es dawet. "Dia bilang, gula merahnya beli langsung dari Banjar (Jateng) sehingga rasa dawetnya lain dari yang lain."
Alklhasil, sejak Desember 2006 Hafiz resmi berdagang es dawet. Awalnya dari satu gerobak yang ia beli seharga Rp 500 ribu yang berkembang menjadi lima gerobak dalam setahun. Hafiz pun jadi juragan baru. Kendati demikian, ia tak segan turun langsung berjualan es dawet. "Trik saya, jika tak dapat banyak untung di lokasi mangkal yang biasa, saya geser sedikit ke lokasi lain. Kalau tetap sepi, geser lagi hingga mencari lokasi yang benar-benar pas," ungkap Hafiz.
Dua tahun kemudian, Hafiz masuk sebagai finalis Wirausaha Muda Mandiri. Saat bertemu para finalis lain, ia tak menyia-nyiakan waktu menimba ilmu dari mereka yang lebih dulu terjun ke dunia bisnis. Merasa belum cukup, Hafiz berguru dari internet. "Saya juga tanya ke banyak orang, apa kekurangan es dawet saya.''
Agar es dawetnya berkualitas, katanya, ia sengaja mendatangkan gula aren dan tepung beras langsung dari Banjar. "Semua harus bahan pilihan, meski itu hanya daun suji atau pandan," ujar Hafiz yang kini menerapkan sistem bagi hasil buat karyawan yang bertugas menjual dawet di lapangan. "Mereka saya gaji Rp 500 ribu lalu yang bisa menjual lebih dari 25 gelas, untuk gelas selanjutnya saya beri fee Rp 150. Ya, begitulah taktik saya untuk membuat karyawan kreatif."
Untuk memperkenalkan usahanya, Hafiz pun tak segan ikut pameran hingga ke Jakarta. Ia juga kerap diundang ke berbagai seminar atau talk show di kampus-kampus untuk membeberkan ilmu bisnisnya. Berbagai promosi juga dilakukan Hafiz. Mulai dari pasang iklan di media cetak, membuat buku, hingga membuat situs www.cahmbanjar.com. Berkat usahanya membagi ilmu berbisnis es dawet, Hafiz pun berhasil meraih penghargaan kategori Usaha Kecil Terbaik Binaan Bank Sumut, UKM Award tahun 2008, dan penghargaan dari Menteri Koperasi dan UKM.
Lalu apa dukanya berbisnis ini? "Kalau seharian hujan tiada henti. Santan akan basi dan air gulanya tak enak lagi. Tapi bila esok harinya cuaca panas terik, pasti laris manis. Yang suka minum dawet, kan, mulai dari anak-anak hingga nenek dan kakek," ungkap Hafiz yang kini mengelola bisnisnya bersama Citra, istrinya.
Tarmizi, Debbi Safinaz / bersambung
KOMENTAR