Hari berganti hari, akhirnya Tuhan menjawab doa kami. Jumat (8/10), kami dapat kabar bahwa Denny sudah ditemukan. Sayangnya, buah hati kami itu ditemukan sudah terbujur kaku di Jembatan Jetis. Jasadnya ditemukan warga dalam kondisi mengenaskan. Polisi menemukan sejumlah kartu tanda pengenal yang masih lengkap di dompet Denny. Bahkan tas ospek dari karung terigu yang berisi kegiatan selama masa orientasinya pun, masih melekat di tubuh Denny.
Yang mencurigakan, pakaian yang dikenakan Denny sudah berganti. Menurut info yang kudapat, pakaian itu pemberian warga sekitar Jetis yang sempat mengira Deny adalah gelandangan. Mereka kasihan melihat Denny basah kuyup kehujanan.
Sejujurnya kami lega Denny sudah ditemukan namun sebagai orangtuanya kami tetap dilanda duka mendalam harus kehilangan buah hati kami satu-satunya. Juga masih ada ganjalan yang mengusik perasaan kami sebab jasad Denny amat mengenaskan saat ditemukan. Pertanyaan kami, kenapa bisa demikian? Yang lebih memprihatinkan, menurut penuturan orang-orang yang sempat bertemu dengan Denny, almarhum hidup menggelandang dan mengaku sebatang kara. Saat ditanya nama, asal, dan kuliah di mana, Denny bisa menjawab dengan benar. Sayangnya, tidak ada yang percaya Denny adalah mahasiswa UGM karena penampilannya lusuh.
Dari hasil visum diketahui, Denny meninggal akibat kelaparan. Miris sekalli aku mendengarnya. Tak heran jika suamiku seperti memendam kemarahan pada orang yang telah mencuci otak putranya. Deny tersayang adalah anak yang kami harapkan bermasa depan cerah. Dia anak yang pintar dan sehat tetapi kenapa justru tewas mengenaskan. Tubuhnya kurus dan kotor sepertinya kurang makan padahal sebelumnya ia selalu tampil rapi dan bersih. Ibaratnya, kalau harus tiga kali keluar rumah, ya, tiga kali pula ia akan bersalin pakaian.
Yang membuat kami terus bertanya-tanya, saat ditemukan, di dompetnya masih ada uang Rp 930.000. Nah, bukankah dengan uang itu sebenarnya dia bisa membeli makanan atau pulang ke Blora? Aneh, kenapa hal itu tidak dilakukan Denny? Atau mungkin ingatannya sudah tertutup sehingga ia tak tahu harus berbuat apa.
Denny memang tak akan kembali lagi ke kami. Kini kami hanya bisa mengenang anak kami yang berwajah ganteng dan selalu berprestasi di sekolah. Dia juga suka menari poco-poco. Sejak kecil, hobinya memang menari dan menyanyi. Kala duduk di bangku SMP hingga SMU, Denny menjadi pelatih tari buat teman-temannya.
Sungguh kami tidak tahu apakah Deny selama ini memendam masalahnya sendirian. Dia memang tipe anak pendiam seperti diriku. Tetapi bila ada persoalan, biasanya Denny berbagi cerita denganku. Jadi, sepanjang pengetahuanku, dia tidak punya persoalan besar.
Ah, sudahlah. Aku kini lebih sering bertemu Denny dalam mimpi. Kami pun masih sering terbangun tengah malam karena mimpi tentang dia. Ayahnya juga kerap terbangun karena merasa dipanggil Denny. "Bapak...Bapak...'"
Yang membuat kami sedih, entah ke mana kami harus menuntut kematian Denny, anak "mahal" kami.
Kami sebut Denny anak mahal karena saat hamil, usiaku sudah 36 tahun. Kondisi kehamilanku payah sekali. Aku keluar- masuk rumah sakit. Mudah sekali mual-mual. Itu terjadi sepanjang kehamilan. Saat bersalin pun (30 September 1992) melalui operasi Caesar. Sungguh perjuangan berat untuk mendapatkan Denny dan setelah kami rawat sampai dewasa, kenapa ia harus meninggal secara mengenaskan?
Beruntung kami sudah bisa ikhlas. Biar Allah yang membalas perbuatan orang yang mencelakai Denny. Kami percayakan penyelidikan kematiannya pada polisi. Kini kami hanya menyimpan tas ospek Denny yang sudah kotor sebagai kenang-kenangan di kala kami merindukannya. Mudah-mudahan kau sudah tenang di sana, Nak...
Ahmad Tarmizi
KOMENTAR