Bulan kini tak lagi bisa jadi petunjuk kita sedang berada di musim kemarau atau penghujan. Soalnya, meski sudah bulan Oktober yang biasanya disebut musim hujan, udara bisa saja panas terik dengan matahari bersinar benderang. Lalu esok harinya, mendadak terdengar suara petir menggelegar, awan gelap, disusul hujan deras tanpa henti.
Perubahan cuaca yang mendadak dan terkesan "aneh" itu, kata Kepala Bidang Pengelolaan Citra Indraja Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Hadi Widiatmoko, terjadi akibat terganggunya keseimbangan atmosfer. "Kalau ada perubahan di suatu wilayah, perubahan itiu direspon wilayah lain karena sifat atmosfer yang kontinyu. Jadi, kalau di daerah A lebih dingin atau lebih panas, wilayah lain akan mengalami hal sama. Yang pasti, fenomena ini juga dirasakan di belahan bumi yang lain."
Curah hujan yang tinggi diiringi banjir, jelas Hadi, merupakan dampak dari fenomena La Nina. Yakni penyimpangan kondisi permukaan laut yang membuat angin bertiup dari Pasifik timur sampai Pasifik tengah, lalu ke Indonesia yang berada di Pasifik barat.
Jadi, lanjutnya, gejala-gejala yang terjadi di negara lain semisal banjir besar di Pakistan dan Cina, "Bisa menjadi peringatan dini bagi negeri kita. Artinya, ada yang tidak seimbang di belahan bumi yang lain. Dengan kata lain, ada yang tak beres di atmosfer. Nah, karena itulah pasti akan terasa di wilayah lain. Hanya masalah waktu saja apakah kita akan tertimpa bencana yang sama atau tidak."
Kurangi Daging
Hadi juga menjelaskan, bergesernya musim hujan adalah salah satu ciri cuaca ekstrem. "Misalnya, November sudah musim hujan tetapi bergeser ke Desember. Ciri lainnya, suhu menurun atau sebaliknya, meningkat. Begitu pula curah hujan berkurang atau malah makin tinggi. Yang harusnya musim kering, malah hujan atau sebaliknya." Begitu curah hujan amat tinggi, permukaan alam yang memiliki kapasitas daya tampung atau daya dukung menahan lagi dan terjadilah banjir.
Sampai kapan cuaca ekstrem akan berlangsung? Hadi tidak bisa memastikan karena sifatnya yang acak. "Ekstrem itu muncul dari satu keseimbangan ke keseimbangan baru. Kalau sudah beradaptasi, ya, seimbang lagi dan menjadi kondisi normal yang baru. Ini satu siklus yang tidak bisa diprediksi," terangnya.
Yang bisa dilakukan, katanya, adalah mengurangi dampak negatif cuaca ekstrem. Dan itu bisa dimulai dari perubahan perilaku untuk hal-hal kecil semisal mengurangi pemakaian kendaraan bermotor. "Buktinya, saat libur Lebaran, suhu di jakarta jadi lebih adem karena lalu-lintas lengang. Nah, andai setengah kendaraan motor kita hilangkan dari kota besar seperti Jakarta, lalu kita tanami pohon secara serentak, pasti besar pengaruhnya untuk mendinginkan suhu suatu kota."
Cara lain, saran Hadi, mengurangi konsumsi daging. "Orang yang makan daging akan mengeluarkan karbon melalui gas buangan (buang angin, Red.) lebih tinggi ketimbang orang yang hanya makan sayur. Demikian pula saat kita membakar suatu barang, ada karbon yang dilepas ke udara. Karbon yang bisa mempengaruhi kondisi atmosfer juga tersimpan pada kayu, tumbuh-tumbuhan, dan hewan," urainya.
Membuat biopori atau sumur resapan di lingkungan tempat tinggal, juga bisa membantu meningkatkan daya dukung lingkungan. "Alam itu jujur, apa adanya, maka harusnya tidak ada istilah alam tidak bersahabat. Manusia lah yang tidak bersahabat dengan alam," kata Hadi dengan nada tegas.
KOMENTAR