Longsay ala Kak Ani Tanpa Serundeng
Lahir dan tumbuh besar di Medan, membuat lidah wanita berdarah Banten, Ani Burhan (56) terbiasa dengan masakan Medan. Menurut ketiga anaknya, masakan Ani begitu nikmat dan selalu jadi favorit keluarga. Karena itu mereka mendorong sang ibu membuka rumah makan. Benar saja, di tahun 1996 Ani membuka Kedai Lontong Sayur (longsay) Kak Ani. Sayang, umurnya cuma setahun. Ani harus pindah rumah.
Namun, pada 16 April 2010, Kedai Kak Ani kembali dibuka. Kali ini di Jalan Kemang Selatan 125A, Jakarta Selatan. Lokasi strategis ditambah resep andalan, membuat kedai yang didekorasi apik ini langsung ramai diburu penggemar masakan khas Medan.
Sedikit perbedaan rupanya tak mengurangi banyaknya pengunjung. Berderet nama terkenal, mulai dari artis hingga pejabat, pernah datang ke Kedai Kak Ani. "Ria Irawan sangat suka Es Jeruk Ketna, Joko Anwar bisa 4 kali seminggu datang ke sini. Dewa Budjana, Tamara Blezynski, Hatta Rajasa, sampai Jero Wacik juga suka jajan kemari," tuturnya.
Untuk menjaga keaslian rasa, Ani sengaja "mengimpor" beberapa bahan langsung dari Medan. Misalnya, cempoka, kinco, gulai daun ubi tumbuk, kerang bulu, tauco medan, hingga jeruk ketna.
Selain menu utama berupa longsay, Ani juga menyediakan menu lain. Termasuk hidangan pencuci mulut khas seperti Es Campur Medan, Es Tebu Hitam, Ketan Kinca Durian, Serabi dan Pisang Penyet. Seporsi longsay di Kedai Kak Ani dipatok harga Rp 33.600.
Untuk menyiapkan semua menunya itu, sejak subuh Ani sudah sibuk di dapur. "Tiap hari saya datang untuk mengecek kualitas makanan. Semata-mata agar standar rasanya terjaga. Kunci masakan saya adalah berani bumbu dan selalu menggunakan bahan pilihan." terang wanita yang membuka kedainya setiap hari pukul 09.00 - 22.00. Dalam sehari, Ani bisa menjual lebih dari 100 posri longsay. "Kami menerima pesan antar cukup dengan telepon ke 021-7198587."
Di antara sekian banyak penjual lontong balap yang tersebar di berbagai penjuru Surabaya, ada satu warung lontong balap yang sangat terkenal. Yakni lontong balap Pak Gendhut yang terletak di Jl. Kranggan, tepatnya di depan bekas bioskop Garuda.
Pak Gendhut sebenarnya tinggal nama, sebab sejak ia meninggal, bisnis lontong balap sudah digantikan anak sulungnya, Aris Taufiq Susanto (34). Namanya kemudian diabadikan menjadi nama warung.
Di Jl. Kranggan, bukan hanya Warung Pak Gendhut saja. Di sana juga banyak warung lontong balap lainnya. Bedanya, warung Pak Gendhut jauh lebih ramai didatangi pembeli ketimbang warung serupa lainnya. Wajar saja, lantaran warung ini terhitung paling awal berjualan di lokasi itu, sejak sekitar tahun 1957.
Warung Pak Gendhut dibuka pada pukul 08.00 hingga pukul 02.30.Suasana warung akan semakin ramai, jika jam makan siang tiba. Yang datang biasannya para pekerja kantoran. "Sejak dulu saya memang sudah langganan makan lontong di sini," jelas salah seorang ibu sambil mengusap wajahnya yang memerah dan berkeringat karena kepedasan.
Seporsi lontong balap terdiri dari irisan lontong, sayur taoge berkuah gurih, dengan rasa bawang yang kuat. Pelengkapnya, irisan tahu goreng plus remasan lentho (terbuat dari tepung dan kacang kedelai yang goreng). Untuk melengkapi kelezatan lontong balap, penikmatnya harus menambahkan kecap dan sambal sesuai selera. Bila ingin lebih nikmat lagi, bisa ditambahkan lauk sate kerang. Per hari Aris bisa menjual 1000 tusuk sate kerang. "Saya tidak masak sendiri karena sudah ada pemasoknya sejak 1970," jelas Aris yang menjual seporsi lontongnya Rp 6.000. Sepuluh tusuk sate kerang Rp 6.000.
Untuk menciptakan kenikmatan lainnya, Aris memilih taoge pilihan. "Harus taoge yang bagus. Pilih yang bentuknya pendek tapi gemuk. Sehingga ketika digigit tidak terasa lembek. Syarat lainnya taoge tidak boleh terlalu panas, karena itu pemanasnya harus kuwali/belanga yang terbuat dari tanah liat. Bahan bakarnya juga cukup serbuk kayu supaya panasnya tak berlebihan," jelas Aris yang lontongnya sudah masuk ke dalam buku panduan kuliner Surabaya.
Agar semakin segar, Aris menyediakan es kelapa muda. Tak ada jenis minuman lain selain es kelapa muda.
Sita, Gandhi / bersambung
KOMENTAR