Sate Siti Dipuji Bu Any
Selama ini Ponorogo terkenal dengan seni reognya. Padahal, urusan kulinernya juga terkenal. Salah satu makanan yang sangat populer adalah sate ayam. Bedanya sate ayam Ponorogo dari sate kota lainnya adalah ukuran irisan dagingnya yang besar-besar, namun tetap empuk. Kelezatannya terasa di lidah bila telah dicampur bumbu kacang.
Tak terlalu sulit menemukan warung-warung sate itu. Sebab, masing-masing pedagang membuka warung di emperan rumah penduduk. Mereka tersebar di Kampung Purbosuman, Setono, dan di Jl Lawu atau lebih kondang dengan sebutan Gang Sate. Sebutan itu muncul sekitar tahun 2005 setelah tumbuh "barisan" penjual sate di Jl Lawu, yang kini jumlahnya ada 13 warung.
Salah satu yang paling laris adalah dagangan Hj. Siti Amini (60), istri mendiang Tukri Sobikun yang memelopori berjualan sate di emperan rumah. Sebelumnya, mendiang Turki berjualan di emperan toko di pusat kota. "Ini usaha turun-temurun. Sampai sekarang sudah ada lima generasi. Perintisnya Mbah Suro, kakek buyut kami. Dulu, kakek jualan keliling kampung dengan cara dipikul. Tapi yang merintis membuka warung di gang sate ini, ya, saya," kata Siti yang berjualan sejak 1975.
"Saya bingung, bayangkan, diberitahu Pak SBY mau datang baru satu jam sebelumnya. Jadi, keadaan warung saya, ya, masih tidak karu-karuan seperti ini. Tapi alhamdulillah semua lancar, bahkan Bu Any Yudhoyono, memuji kelezatan sate kami," ujar Siti senang.
Dalam sehari, Siti mampu menjual sekitar 10 ribu tusuk sate atau setara dengan 150 ekor ayam. Bumbu kacangnya sekitar satu kuintal per hari. Beberapa penjual sate pun memasok sekitar 1.000 tusuk sate ke warungnya tanpa bumbu. "Pasokan itu saya perlukan mengingat tenaga yang ada di sini terbatas. Lagi pula, ini juga untuk membantu pedagang lain yang tak seramai di sini," tutur Siti yang berpenghasilan kotor Rp 20 juta per hari. Maklum, harga sate Siti di atas rata-rata pedagang lain. Seporsi sate daging isi 10 tusuk Rp 15 ribu dan Rp 14 ribu untuk sate jerohan.
HARGA TERGANTUNG UKURAN
Sedikitnya ada sekitar 20 penjual ayam panggang di sana. Oleh karena nama desa itu sudah lekat dengan ayam panggang, Pemkab Magetan mencanangkan desa tadi sebagai kawasan wisata panggang ayam.
Jalan desa yang tidak terlalu besar itu saban hari dilalui ratusan orang yang ingin mencicipi lezatnya ayam panggang. Salah satu perintisnya bernama Ibu Mami alias Bu Setu (Setu adalah nama mendiang suaminya).
Mami bercerita, desanya terkenal sebagai loksi wisata kuliner ayam panggang sekitar 13 tahun lalu. "Awalnya warung saya hanya didatangi beberapa orang untuk menikmati ayam panggang olahan saya, selanjutnya terus berkambang pesat sampai sekarang," kata ibu empat orang anak tersebut.
Dulu, kisahnya, ia berjualan ayam kampung di pasar desa, sementara suamimya hanya petani kecil. "Hidup kami susah, semua serba pas-pasan. Saya lalu banting stir jualan ayam panggang keliling dari kampung ke kampung pakai sepeda pancal. Setelah lima tahun, orang mulai mengenal ayam panggang saya."
Suatu ketika, beberapa tetangga desa datang ke rumahnya ingin dibuatkan ayam panggang sekalian disantap di rumahnya. Sejak itu, kabar kelezatan ayam panggangnya menyebar dari mulut ke mulut. Ia pun berhenti jualan keliling, lalui memilih buka warung di rumahnya.
Menu ayam panggang Mami kini semakin beragam. Ada ayam panggang bumbu rujak dan bumbu bawang. Toh, ia tak menolak bila pelanggan minta dibuatkan ayam goreng. "Kalau cuma sesekali, boleh lah," ujar Mami yang kini memiliki 30 karyawan.
Mami mengaku tidak memiliki resep khusus ayam panggang. Ia hanya menjaga kualitas bumbu serta kesegaran ayamnya. "Saya benar-benar jual ayam kampung." Oleh karena itu harga ayam yang dijual tidak selalu sama, tergantung besar-kecilnya ayam. "Tiap hari sudah ada yang memasok ayam kampungnya," terangnya.
Gandhi Wasono / bersambung
KOMENTAR