Penasaran, aku coba menghubungi telepon selular suamiku. Aneh, telepon genggamnya tak aktif. Tak biasanya suami menonaktifkan telepon genggamnya. Rasa penasaranku terus berlanjut. Aku terus mencoba menghubungi teleponnya. Namun, tetap tak tersambung. "Ada apa ini sebenarnya?" tanyaku dalam hati.
Belum habis rasa penasaranku, Bang Parlin kembali menelepon. Kali ini ia berkata, apa sudah tahu kabar Bang Muel? Ia bilang, ketika apel pagi hari tadi, sudah diumumkan, "Immanuel tewas!" Bagai disambar petir, aku tak percaya kata-katanya itu! "Kenapa tewas?"
Seketika aku menghubungi Bapakku. Tetapi yang kudengar di telepon, hanya suara tangisan Bapak. Aku semakin penasaran. Aku diminta segera pulang. Saat itu juga aku minta teman jalanku untuk mengantar pulang. Sampai di mulut gang, aku melihat bendera merah, tanda ada kematian. Dari jauh aku juga melihat mobil ambulans Brimob. Perasaanku mulai tak karuan. Campur aduk. Dengan tubuh gemetar aku menuju rumah mertua. Dari sanalah kabar duka itu kuperoleh."Oh Tuhan, suamiku telah tiada!"
(Fristi menghentikan tuturannya. Ia tak kuasa menahan tangis. Berkali-kali wanita ini menyebut nama Immanuel. Para kerabat menenangkannya, ada pula yang menghiburnya. Tak berapa lama Fristi disuapi makan oleh salah satu kerabatnya. Sambil makan, wanita ini pelan-pelan meneruskan kisah pilunya.)
Di mataku, Bang Muel adalah sosok pria yang baik, santun, jujur dan disiplin. Almarhum juga sangat perhatian dan penuh kasih kepadaku. Kini, aku baru bisa merasakan bahwa banyak sekali firasat yang ditinggalkan almarhum kepadaku, tetapi kuabaikan saja.
Masih terbayang, Bang Muel mencuci motor yang baru saja dibelinya sejak pukul 16.00 hingga 21.00 malam. Memang aneh, kenapa mencuci motor hingga selama itu? Ia juga berani mengajakku pulang ke rumah dan duduk di dekat ayahku. Padahal, tak biasanya ia berani duduk dekat ayahku.
Sungguh, kini aku menyesal, kenapa para perampok itu sampai menembak mati suamiku? Tidakkah ia juga memiliki istri dan anak seperti almarhum? Tega nian si penembak menghabisi nyawa suamiku. Oleh karena itu aku berharap para perampok uang Rp 300 juta itu segera tertangkap dan diganjar hukuman setimpal.
Jumat (20/8), jenazah suamiku dimakamkan di pekuburan Simalingkar. Upacara pemakamannya dipimpin Kapoldasu Irjen Pol Oegroseno.
Bila teringat suami, aku masih sering jatuh pingsan. Rasanya tak kuat lagi menerima kenyataan pahit ini. Bayangkan saja, aku bakal melahirkan bayi tanpa ayah, karena Bang Muel telah tiada. Aku juga tidak tahu lagi harus bagaimana menjalani hidup. Hanya janin yang ada di perutku inilah yang nantinya bakal menguatkan aku menjalani hari-hariku. Mudah-mudahan aku bisa melalui persalinan dengan selamat. Inilah keturunan Bang Muel yang harus aku jaga. Mohon doanya dari semua.
Debbi Safinaz
KOMENTAR