Ada satu hal yang tak terduga ketika kios Martabak Alim makin ramai. Antara lain, munculnya sejumlah orang yang tertarik ingin membeli franchise (warakaba). "Waktu itu saya sama sekali enggak mengerti apa itu franchise. Justru orang yang berniat membeli yang menerangkan ke saya. Wah, boleh juga kalau ada yang mau beli."
Pertimbangan Koh Alim kala itu bukan untuk mengembangkan bisnisnya. Melainkan tergiur uang segepok yang bakal diterimanya. "Kapan lagi dapat uang sebegitu banyak. Pikiran saya hanya satu. Ini kesempatan untuk membayar utang kartu kredit saya."
Koh Alim kemudian menjual franchise Martabak Alim senilai Rp 50 juta. Pembeli franchise-nya pun mulai antri dan ia melayani dengan cara "cowboy" lantaran tak menyiapkan manajemen yang rapi. Makanya tak heran, ada beberapa komplain yang ditujukan padanya.
"Katanya ada beberapa outlet yang rasa martabaknya beda." Bagi Koh Alim itu wajar karena ia hanya menjual "formula" tanpa memasok bahan bakunya. Artinya, pemegang franchise Martabak Alim, membeli tepung, gula, dan telur sendiri. Makanya rasanya ada yang beda, meski formulanya sama. Akibat komplian itu, Alim lalu menghentikan penjualan franchise-nya saat outletnya sudah ada 120.
Koh Alim sadar, ada hal yang harus diperbaiki. Setelah manajemen usaha dirapikan, Koh Alim membuka franchise lagi. Kali ini dengan nama dan konsep yang beda. "Namanya ada tambahan Van De Cock."
Konsepnya juga beda. Semua bahan-bahan dipasok dan cetakan semuanya berlambang hati. Semua bahan sudah dicampur. Untuk membuat adonan martabak, tinggal menambahkan air. "Jadi saya jamin, rasanya pasti sama."
Tak hanya menyempurnakan sistem franchise, Alim juga terus berinovasi terhadap produknya agar terus diminati masyararakat. Salah satunya, menawarkan donat dengan harga lebih murah. Gebrakan lainnya, menjual martabak seharga Rp 1000. "Ini langkah saya yang terakhir. Konsepnya sudah ada, tinggal eksekusinya saja. Awal puasa, produk ini diluncurkan."
Biasanya, membeli martabak itu dibawa pulang. Tapi konsep ini dibalik oleh Paulus Gunawan, pemilik Martabak House. Setelah selama 7 tahun menjajakan martabak Bangka dengan gerobak, akhirnya pada 2007 lalu, pria keturunan Cina-Bangka ini membuka resto martabak di Jl. Kusumawardhani, Semarang.
Dengan konsep resto seperti ini, Paulus mengharapkan pelanggannya bisa menyantap martabak di tempat. "Ternyata konsep itu mendapat sambutan baik dari pelanggan," jelas Dewi Rahmawati, Manajer Marketing Martabak House.
Bisa jadi, konsep ini sukses karena menu martabak Bangka yang ditawarkan berbeda dengan martabak pada umumnya. Paulus menawarkan martabak asin maupun manis dalam ukuran kecil. Tak hanya itu, di tangan Paulus, makanan ini juga disulap menjadi beragam model dan rasa.
KOMENTAR