Pelaku mutilasi, kata psikolog Winarini Wilman Dahlan, belum tentu sakit jiwa. "Harus ada pemeriksaan psikologis untuk memastikannya. Yang jelas, pelaku mengalami tekanan yang sangat berat. Itu pun tergantung bagaimana tiap orang memandang tekanan itu."
Tekanan yang dialami bisa bermacam-macam. Mulai dari masalah ekonomi, komunikasi, seksual, hingga masalah anak. "Yang jelas, manusia yang sanggup melakukan pemotongan terhadap manusia lainnya, berbeda dengan manusia normal," kata doktor lulusan University of Queensland, Australia, ini.
Oleh karena ingin menyembunyikan hasil kejahatan, pelaku memotong-motong korbannya. "Tinggal apakah dia menyesali perbuatannya atau tidak. Kalau tidak, dia termasuk psikopat. Jika menyesal, artinya dia sangat marah terhadap si korban sampai tega melakukan hal tersebut." Pembunuhan disertai mutilasi menunjukkan agresifitas yang sangat tinggi atau si pelaku memiliki dendam yang begitu besar.
Bahwa ide itu bisa terbersit di benak pelaku, kata Wina, harus ditelusuri masa lalu si pelaku. Ia pernah menjadi korban kekerasan atau melihat ibunya menjadi korban kekerasan, bisa jadi ia menyimpan trauma. Dengan terbiasa mengalami atau melihat kekerasan, ia akan berpikir, kekerasan merupakan salah satu cara menyelesaikan masalah.
Nah, semua teori itu, "Satu sama lain saling terkait. Kalau dia mengalami tekanan tetapi tidak pernah menjadi korban kekerasan ataumelihat kekerasan, atau tidak memiliki agresifitas tinggi, kecil kemungkinan dia akan melakukan pembunuhan."
Untuk itu, tak ada cara lain untuk mencegahnya kecuali memberi lingkungan sehat dan normal bagi anak agar tumbuh menjadi orang dewasa yang normal. Hukuman seperti hukuman penjara bagi orang-orang dengan masa lalu buruk, hanya berfungsi memisahkan pelaku dari masyarakat untuk sementara. "Harus ada psikoterapi di dalam penjara agar mereka sadar, apa yang salah dan sadar bahwa perilakunya tidak tepat karena dikendalikan oleh pikiran yang keliru," tegasnya.
"Saya takut didatangi arwah istri saya." Begitu pengakuan Yana Sujana saat ditemui di Ruang Tipiter, Reskrim Polres Bandung, usai rekontruksi Kamis (22/7). Tiap malam, katanya, ia ketakutan.
Anak keempat dari 9 saudara ini mengaku spontan saja saat mencekik Liliana di kamar mandi Rabu (23/6). Malam itu, kisah Yana, mereka baru saja bertengkar hebat. Itulah puncak dari kepanikan Liliana karena mobil Avanza miliknya dibawa kabur sang penyewa.
Padahal, bukan kali itu saja mobil sewaaan Liliana dibawa kabur penyewanya. Beruntung, mobil itu bisa ditemukan di Lombok. "Akhirnya dijual lalu dibelikan Avanza yang dibawa kabur itu juga."
KOMENTAR