Yang membuat kami pusing, perawatan untuk Pakalima ternyata tak hanya obat saja. Apalagi bagian kulit yang menyatu dalam daging di tubuh Pakalima sudah banyak yang membusuk. Meski sudah dibersihkan, daging yang membusuk dan berwarna hitam-hitam itu akan muncul lagi. Jelas, sebagai orangtuanya, kami berharap Pakalima mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi. Terutama agar lubang-lubang yang tampak di sekujur tubuhnya bisa tertutupi.
Akhirnya kami memutuskan membawa Pakalima ke RS Elizabeth Medan. Baru setengah bulan dirawat di sana, kami sudah habis sekitar Rp 100 juta. Uang itu kami kumpulkan dari hasil menjual tanah, sawah, dan lain-lain. Bahkan, para kerabat pun banyak yang ikut membantu. Mereka juga menganjurkan agar kami membawa saja Pakalima berobat ke Singapura atau Penang, Malaysia saja.
Aku dan suami bukannya tak mau membawa si bungsu berobat keluar negeri. Jangankan ke luar negeri, untuk membawa Pakalima dari Sidikalang ke Medan saja, perlu waktu sekitar 6 jam perjalanan. Selama di dalam mobil Pakalima tak henti menangis karena menahan sakit dan pedih akibat terguncang-guncang. Aku tak tega melihatnya menderita seperti itu.
Debbi Safinaz
KOMENTAR