Tak pernah kuduga, ternyata sejak itu aku tak pernah bisa melihat bayiku lagi, yang belum sempat kuberi nama itu. Komunikasi dengan yayasan juga nyaris putus. Mereka tak menanggapi sama sekali.
Aku pun berusaha menemui Ibu D Rabu (9/6). UNamun, ucapannya betul-betul membuatku terpana. Ia mengharuskan mengganti semua biaya persalinan. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, Rp 10 juta! Toh, demi anakku, aku masih berusaha minta waktu dan diberi tenggat hingga Jumat (11/6).
Ternyata hingga hari yang ditentukan, aku tak kunjung punya uang sebesar itu. Di tengah kepanikan, sahabatku menyarankan agar minta bantuan hukum ke LBH Jakarta. Akhirnya, bersama kuasa hukum dari LBH, kami mendatangi Yayasan PH di Jalan Roda, Bogor.
Ya, ampun, betapa miris hatiku melihat kondisi panti. Sunguh sangat tidak layak ditempati bayi. (DAM tak sanggup meneruskan ceritanya. Ia terisak mengenang nasib bayinya. Baru beberapa saat kemudian, ia bisa meneruskan kisahnya).
Rabu (30/6) LBH mengabariku agar kembali ke Yayasan PH untuk mengambil anakku bersama KPAI. Tiba di sana, aku terkejut melihat sudah banyak wartawan yang meliput. Aku diwawancara dan difoto. Esoknya, berita tentang diriku muncul di mana-mana sehingga ributlah keluarga besarku. Mereka merasa dipermalukan. Tetangga sekitar tempat tinggalku juga menyalahkanku. Di sekolah anakku, kasus ini juga jadi bahan perbincangan.
Keluarga Malu
Aku sungguh malu. Aku tak tahu harus berbuat apa karena yang kuinginkan hanyalah mengambil bayiku. Mudah-mudahan masalah ini cepat berlalu dan kami bisa hidup tenang lagi seperti dulu, meski serba kekurangan.
Kejadian ini juga membuat tawaran kerja di sebuah perusahaan dibatalkan. Yang lebih menyedihkan, aku ditinggal seorang pria yang sebetulnya dalam waktu dekat akan menikahiku.
Aku mohon dengan sangat, janganlah semua kesalahan ditimpakan padaku seorang diri. Aku minta agar situasi dan kondisiku yang serba terjepit dan sulit, bisa dipahami dengan hati yang lapang.
"Di panti kami tidak ada jual-beli anak!" Itulah kalimat yang bisa dibaca di website Yayasan PSAA PH, Bogor. Sang ketua yayasan, yang disapa Ibu D oleh DAM, membantah keras atas semua tuduhan yang ditujukan padanya.
"Tak benar kami menyembunyikan bayi DAM. Panti kami terbuka bagi siapa pun yang ingin berkunjung." Bayi DAM, kata D, adalah salah satu dari bayi perempuan sehat yang saat itu dibawa paksa ke RS Islam.
Benar, kata D, perkenalanya dengan DAM bermula dari e-mail wanita itu ke yayasan. Yang tak pernah ia duga, lanjutnya, ketika kemudian pantinya digerebek polisi beserta KPAI dan Dinas Sosial setempat yang kemudian membawa tiga bayi dari pantinya untuk dibawa ke RS Islam. "Bayi-bayi itu dibawa paksa tanpa persetujuan kami. Satu bayi laki-laki dalam keadaan 'kuning' itu baru sehari dititipkan di panti oleh orangtuanya."
D tak menampik kondisi panti asuhannya memprihatinkan dan sudah berencana memindahkan ke daerah Kedung Halang, Bogor. Kebetulan, katanya lagi, Maret nanti panti itu akan digusur, digantikan bangunan Puskesmas.
Saat rombongan datang, ujar D, "Memang hanya ada tiga bayi di Panti PH 1 karena anak-anak asuh kami yang besar sedang diajak berlibur ke Taman Matahari oleh beberapa pengasuh.''
D memang boleh bicara apa saja, yang pasti Tommy A.M. Tobing, SH, pendamping DAM dari LBH, menilai pihak yayasan melanggar sejumlah aspek hukum. Antara lain, DAM sulit menemui bahkan terancam akan dipisahkan dari anaknya.
Tommy melihat ada yang tak beres ketika bayi DAM sudah dipindah ke Yayayasan PH di Jalan Roda. "Saya lihat, ada dugaan trafficking karena ada perpindahan anak dari orangtua kandung ke orang lain," ujar Tommy yang kemudian meminta keterlibatan KPAI.
Selasa (29/6), bersama KPAI, Tommy dan DAM mendatangi Yayasan PH untuk mengetahui duduk perkara dan mencoba membawa si bayi pulang. "Bayinya enggak diberikan dengan alasan DAM belum membayar biaya persalinan sebesar Rp 10 Juta."
Esoknya, bersaman aparat yang lebih lengkap, mereka datang lagi dan akhirnya berhasil mengeluarkan tiga bayi dari Jl. Roda, termasuk bayi DAM, dan membawanya ke RS Islam. "Bayi-bayi itu umurnya masih 3 bulan, 7 hari, dan 27 hari kemudian dimasukkan ke panti asuhan milik Dinas Sosial, Bogor. bayi yang umurnya 3 bulan itu punya saudara kembar laki-laki. Tetapi keberadaannya belum diketahui," jelas Rizki Nasution, dari KPAI.
Soal gedung yang tak layak pakai sebagai tempat penampungan dan pengasuhan anak serta bayi, dibenarkan Rizki. Dua kali, kata Rizki, KPAI mengevakuasi anak dan bayi dari panti itu. "Terakhir Selasa (6/7) silam, kami memindahkan tujuh anak usia 5 bulan-12 tahun ke panti asuhan milik Dinas Sosial, Bogor.
Rizki juga menyebutkan, Yayasan PH pernah mendapat bantuan keuangan dari Dinas Sosial Bogor sebesar Rp 21 juta untuk 20 anak. "Ketika kami pindahkan, cuma ada 12 anak dan bayi. Sisanya ke mana?" ujar Rizki yang menengarai yayasan itu telah melakukan trafficking terselubung.
Edwin Yusman F, Rini
KOMENTAR