Lapar di sore hari dan ingin menyantap hidangan yang masih mengepul dari dapur? Berjalanlah menyusuri gang-gang di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang. Bisa ke Gang II, VIII, dan X. Ada beberapa penjual nasi uduk yang lezat di sana.
Salah satunya, Nasi Uduk H. Suryadi di Gang X yang konon sudah berjualan sejak 1950. Kini, usaha almarhum Suryadi diteruskan cucunya, Abu Syahri bersama istrinya. "Dari sembilan cucu Suryadi, hanya suami saya yang jualan nasi uduk," kata Noni, istri Abu Syahri. Sebagai satu-satunya penerus Suryadi, tentu saja resep warisan itu tak akan diganti agar kelezatan nasi dan lauk-pauknya tetap sama.
Tidak sulit menemukan Gang X. Pecinta nasi uduk bisa menyusuri perempatan di seberang pusat perbelanjaan Sarinah di kawasan Thamrin lalu di kiri jalan ada petunjuk Gang X. "Ya, sederhana begini tempatnya. Kami biasa buka sejak jam 15.30 hingga 23.00. Namanya juga rezeki, enggak bisa ditentukan perolehannya. Tapi patokannya, kami biasa menghabiskan 18 liter beras untuk nasi uduk."
Sederet lauk andalan dan sambal kacang disediakan Noni untuk para pelanggannya. "Yang paling banyak disukai, sih, ayam goreng, udang, empal, dan jerohan. Kami baru menggorengnya kembali setelah pembeli memilih lauk yang dikehendaki." Sebungkus nasi uduk berbumbu bawang merah goreng dijual Noni seharga Rp 1.500. Hidangan penutupnya, ada asinan sayur yang diolah langsung oleh Abu Syahri.
Jadi, apa istimewanya nasi uduk H. Suryadi yang digemari banyak artis, pengusaha, dan pejabat pemerintah? "Pelanggan yang sudah tua-tua dan pernah mencicipi olahan kakek Suryadi bilang, kelezatan rasa nasi uduk, sambal dan lauknya, tidak pernah berubah sampai sekarang," kata Noni yang menerima pesanan untuk acara khusus.
Ketika Jakarta berulang tahun, apakah ada efek baiknya buat bisnis nasi uduk? "Biasa saja. Cuma pernah pas ulang tahun Jakarta, Pak Lurah pesan beberapa boks nasi uduk. Kami memang terima pesanan. Bisa diantar atau diambil sendiri. Khusus Ramadhan, kami tutup selama sebulan penuh. Kecuali ada pesanan."
Menjalankan niat baik akan membuahkan hasil yang baik. Itulah yang diyakini Hj. Ellya, pemilik rumah makan Nasi Uduk Hj. Ellya di Jln. Pesanggrahan, Jakarta Barat. Meski tak bisa masak, Elly nekat membuka rumah makan nasi uduk setelah melihat prospeknya bagus.
"Idenya tercetus tahun 2001 tapi saya realisasikan dua tahun kemudian. Saat itu saya masih bekerja di perusahan swasta. Awalnya juga cuma untuk menolong adik-adik ipar agar punya kegiatan dan usaha."
Tak disangka, hari pertama membuka rumah makan, 11 Mei 2003, 30 ekor ayam plus 25 kilo nasi ludes dalam tempo setengah jam. Calon pembeli lainnya banyak yang kecewa. Hari berikutnya ditingkatkan menjadi 100 ekor ayam plus 150 kilo nasi. "Hanya dua jam, sudah habis. Pembeli sampai antre. Dari situlah saya diultimatum suami, H. Totok Sudarto, mau terus kerja apa jual nasi? Saya pilih jualan nasi!" Sejak itu, dagangan Elly makin laris dan omzet meningkat terus.
Selain mengaku tak bisa memasak, jujur Elly mengaku bukan keturunan langsung para "pelopor" nasi uduk Kebon Kacang. "Adik ipar saya yang punya keturunan langsung dari H. Hamid. Dia yang punya Rumah Makan Puas di Kebon Kacang."
Lewat bantuan si ipar pula, Elly bisa mendapat pasokan bahan baku nasi uduk dan daun pisang. "Para pemasok itu juga turunan para pemasok bahan baku nasi uduk sejak tahun 70-an itu."
Rini Sulistyati
KOMENTAR