Bila memutar kembali ingatanku ke belakang, sungguh aku tak pernah menyangka bila Minggu (30/5) sore itu adalah pertemuan terakhirku dengan Dede yang periang dan manja. Tapi entah kenapa, hari itu, tak biasanya aku menyuruhnya mandi sendiri. Sambil tertawa Dede kala itu menjawab, "Mama enggak mimpi, kan, aku disuruh mandi sendiri?" Dia memang senang kalau bisa mandi sendiri karena berarti dia bisa main air sesuka hatinya.
Aku juga ingat betul baju yang aku pakaikan terakhir kali adalah kaus hijau dipadu celana pendek berwarna biru gelap dan celana dalam biru. Saat jenazah Dede ditemukan, ia masih mengenakan kaos hijau dan celana biru. Betapa pedihnya mengingat segala kenangan manis bersama buah hatiku itu.
Kini aku berharap polisi bisa segera membekuk dua tersangka lainnya. Mereka pantas dihukum seberat-beratnya. Aku juga berharap, ibu-ibu lain berhati-hati. Jangan pernah lengah mengawasi anak-anak!
Sudah sejak awal Juni, anak bungsuku, Anis Rasydiani (6), tak jelas rimbanya. Anis hilang usai pulang bermain dengan teman-temannya di sekitar rumah kami di Garut. Anis yang usai magrib itu seharusnya mengaji, tak kunjung pulang. Panik, aku, Pria Utama (45) dan istriku Wawa Ratnawati, memutuskan lapor ke polisi. Sejak malam itu, istriku tak henti menangis, meratapi buah hati kami.
Dugaan Anis diculik semakin jelas setelah tiga hari kemudian aku menerima telepon misterius dari seorang pria. Ia mendapat nomor teleponku dari selebaran tentang hilangnya Anis. Katanya, dia tahu di mana Anis berada dan menanyakan uang hadiah jika bisa mengembalikan Anis ke pelukan kami. Ia menyebut angka Rp 5 juta. Aku agak ragu, apakah orang itu cuma iseng atau si penculik. Kalau memang penculik, kok, hanya minta sejumlah itu? Ditanya mau bertemu di mana untuk menyerahkan uang itu, ia hanya menjawab, "Terserah."
Ah, entahlah apakah pria itu si penculik atau hanya iseng. Aku juga tak mau menuduh sembarangan. Yang jelas, hingga hari ini Anis belum juga muncul dan tak ada kabar beritanya. Padahal, tahun ini kami sudah berencana mendaftarkannya ke sekolah dasar. Bahkan perlengkapan sekolahnya, sudah kubelikaan.
Di mana gerangan buah hati kami? Kenapa ia sampai hilang bak ditelan bumi? Rasanya aku tak pernah punya musuh. Hubungan dengan tetangga pun baik-baik saja. Ah, kami jadi sedih dan menyesal karena sebelum hilang, Anis minta dibuatkan nasi tumpeng. Sayangnyaa saat itu aku belum punya rezeki. Akhirnya kami buatkan tumpeng untuk dibagikan ke TPA tempatnya mengaji. Maklum, sebagai buruh tambal ban, aku tak punya uang berlimpah. Setelah ia tak kunjung pulang, Kami membuat nasi tumpeng untuk dibagikan ke TPA tempatnya belajar mengaji.
Ah, andaikan ia pulang dengan selamat, aku berjanji akan memenuhi apa pun permintaannya. Tapi seandainya hal terburuk yang terjadi, aku pasrah. Andai Anis memang diculik atau diperjualbelikan, aku minta kesadaran pelakunya untuk introspeksi. Bagaimana seandainya anaknya yang diculik? Aku mohon keikhlasan penculiknya agar segera mengembalikan anak tercinta kami.
CEGAH CULIK
Anak jadi korban penculikan, kata psikolog Sari Rahadi Asih, sebetulnya bisa dicegah dengan cara mengajarkan anak usia 12 tahun ke bawah agar tak mudah percaya pada orang lain yang belum dikenalnya. Tentu saja harus terus ditanamkan berulang-ulang agar tertancap di benak anak tanpa harus mengekang kebebasan anak. Berikut sejumlah jurus dari psikolog anak ini.
Biasakan anak pamit atau izin pada orang tua jika hendak bepergian.
Ajarkan anak agar tidak mudah dibujuk orang yang tidak dikenal dan berani menolak ajakan orang asing.
Rencanakan segala sesuatu di pagi hari, misalnya siapa yang akan menjemput di sekolah, dan lainnya.
Jika ada perubahan rencana, komunikasikan dengan anak sehingga ia akan terbiasa dengan keteraturan.
Tanamkan pada si kecil, siapa saja yang bisa ia percaya.
Sita Dewi, Hasuna
KOMENTAR