Ditemui di rumahnya, Saleha Moeslim Taher (60), ibunda Nur Fitri Moeslim Taher (43) alias Upi, sudah bisa tersenyum lega. Wajar karena beberapa hari sebelumnya, hati perempuan ini diliputi rasa galau akan nasib Upi, anak perempuan semata wayangnya. "Senin (1/6) sekitar pukul 24.00, telepon rumah berdering. Meski saat itu saya sedang capek sekali karena harus menemui wartawan dan sanak- saudara yang berdatangan ke rumah, saya angkat telepon. Ternyata yang menelepon Upi. Dia bilang, 'Ibu!'. Antara yakin dan tidak, saya malah jadi bingung dan kaget. Telepon itu langsung terputus."
Tak lama, telepon kembali berdering dan diangkat Saleha. Dari ujung sana kembali terdengar suara putrinya. Sayangnya, "Upi bilang hanya boleh berbicara dengan bahasa Inggris karena dia diawasi tentara Israel. Karena saya enggak bisa berbahasa Inggris, saya berikan telepon itu ke suami. Dari pembicaraan mereka, Upi bilang akan pulang ke Indonesia secepatnya." Lega nian hati Saleha. Terjawab sudah doanya pada Tuhan, meminta keselamatan putrinya. "Alhamdulillah, saya senang sekali. Saya langsung panggil semua anak datang ke rumah. Kami berpelukan dan memanjatkan syukur bersama. Sayangnya, saya enggak bsia mengobrol sama Upi," tutur Saleha.
Upi adalah salah satu anggota Tim Kemanusiaan untuk Palestina. Beberapa minggu lalu, dari pelabuhan Turki, tim asal Indonesia yang berjumlah 12 orang itu bergabung bersama sekitar 500 orang dari 30 negara. Mereka membawa 1.200 ton bantuan untuk rakyat Palestina yang berada di Jalur Gaza. Bantuan berupa semen, makanan, kebutuhan sehari-hari, dan alat-alat sekolah itu dibawa dengan kapal Mavi Marmara.
Di tengah perjalanan, tepatnya Senin 31 Mei 2010, kapal yang tengah berlayar di perairan internasional menuju Gaza itu diserang dan ditembaki tentara Israel. Sejak itu, komunikasi keluarga dengan Tim Kemanusiaan asal Indonesia pun otomatis terputus.
"Ketika dapat kabar bahwa kapal laut yang ditumpangi anak saya diserang, jelas saya sangat kaget dan segera mencari tahu keadaan Upi. Tapi di sisi lain, saya mencoba tenang dan memasrahkan semuanya kepada Allah karena ketika Upi meminta izin berangkat ke sana, saya sudah sadar akan segala risikonya. Sepahit apapun itu," kata Saleha.
Tapi namanya seorang ibu, rasa khawatir tetap dirasakan Saleha. "Saya sangat sayang Upi. Dia anak perempuan satu-satunya. Apalagi dia sudah punya anak 3 dan masih kecil-kecil. Tapi justru karena saya sangat sayang dia, saya izinkan pergi untuk berjuang. Saya enggak ingin membelenggu dia. Saya berikan dia kebebasan, terlebih jika niatnya baik."
Upik kecil, cerita Saleha, sangat berani, bertabiat keras, dan peduli kepada sesama. "Kalau bertemu pengemis, dia selalu mengingatkan saya untuk memberi uang. Dari kecil, seperti saudara-saudaranya, dia memang tidak pernah saya bedakan, meski dia perempuan satu-satunya. Yang paling utama saya menekankan anak-anak untuk mempelajari agama dan berani. Dia bahkan enggak takut untuk berkelahi, meski dengan laki-laki," ungkap Saleha tertawa.
Oleh karena lebih senang berorganisasi, Upi yang lulusan Fakultas Sastra Inggris dari sebuah Universitas di Australia itu kemudian memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaanya dan fokus ke organisasi kemanusiaan yang digelutinya. "Itulah Upi," kata Saleha dengan nada bangga.
Edwin Yusman F / bersambung
KOMENTAR