Sampai suatu malam di awal Mei, polisi datang ke rumah Sari. Saat itu, ibu Sari masih di Lamongan. "Polisi mengabarkan telah ditemukan kerangka perempuan. Foto korban itu ditunjukkan kepada saya. Ngeri sekali melihatnya karena korban sudah jadi kerangka. Tapi, dari baju dan celana yang masih menempel di tubuhnya, saya mengenali sebagai jasad Sari. Itulah busana yang terakhir kali dipakai Sari."
Untuk memastikan, Tanti ditemani kerabatnya menuju RS Bhayangkara, tempat jasad disemayamkan. Setelah pasti bawah kerangka itu betul Sari, "Atas permintaan keluarga, jasad Sari dimakamkan di Lamongan, Sabtu (8/5)." Belakangan Tanti dan kerabatnya tahu, ternyata Sari dibunuh AW pada saat mereka bertemu. "AW mengaku pada polisi telah membunuh Sari karena tidak mau putus. AW mengatakan, Sari menolak putus karena hubungan mereka sudah seperti suami-istri. Bahkan AW mengaku bersebadan pada saat terakhir bertemu."
Pengakuan AW tak dipercaya begitu saja oleh Tanti dan keluarganya. "Saya yakin, AW bohong. Soalnya, saat itu Sari sedang menstruasi. Buktinya, di jasad Sari, pembalutnya masih menempel." Tanti menduga, AW membunuh Sari karena naik pitam setelah keinginannya bersebadan ditolak Sari. Itu sebabnya, keluarga minta AW dihukum berat sesuai dengan perbuatannya. "Utang nyawa harus dibayar nyawa. Keluarga berharap, ia dihukum berat. Kalau bukan hukuman mati, AW pantas dihukum seumur hidup," tandas Tanti yang sepanjang wawancara ditemani kakaknya, Isriyanti.
Sementara itu, Kasatreskrim Polresta Semarang Timur Iptu Benny Hartawan, SH yang didampingi Kapolresta AKBP Kukuh Kalis Susilo, menjelaskan, AW sempat kabur ke Demak, Gubuk, Solo, Yogyakarta, Kebumen, Bandung, dan terakhir ke Jakarta. Di kawasan Cibubur, AW meninggalkan sepeda motor Sari lalu melanjutkan perjalanan dengan angkot menuju Kampung Rambutan, selanjutnya ke Pasar Minggu. Ia menuju rumah bibinya. "Saya dijemput kakak yang lebih dulu tinggal di Jakarta. Selama 1,5 bulan, saya membantu kakak," ujar AW. Di sanalah jejak AW tercium petugas. Ia berhasil ditangkap Selasa (4/5) dan kini mendekam di tahanan Polresta Semarang Timur.
"Kenapa Anakku Harus Dibunuh?"
Sejak Sari mendapat pekerjaan di pabrik perangkai kabel mobil, ekonomi keluarga mulai membaik. Penghasilan Sari, selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri, juga untuk membantu semua kebutuhan rumah. "Sari berulangkali mengatakan, kelak saya tidak boleh bekerja lagi, semua keperluan saya, dia yang akan mencukupi. Dia bilang tidak tega melihat saya yang dari dari dulu bekerja banting tulang," cerita Suyatni. Oleh karena pertimbangan ingin membahagiakan dirinya itulah, sampai akhir hayatnya Sari mengaku belum berniat memiliki pacar.
Ia tak henti-hentinya mengecam kebengisan AW yang tega menghabisi nyawa anaknya yang tak berdosa. "Kalau memang menginginkan barang anak saya, silakan ambil, tapi mengapa masih juga dibunuh?" Padahal, lanjut Suyatni, perilaku Sari sangat baik kepada siapa saja. Selain taat beribadah, dia sangat santun. "Karena itulah, waktu dia meninggal, teman-teman SMP sampai SMK semua datang. Mereka ikut bersedih dan tak menyangka Sari akan meninggal dengan cara seperti itu," papar Suyatni dengan berlinang air mata.
Setelah kepergian Sari, Suyatni memutuskan kembali ke kampung halamannya di Lamongan dan tinggal menumpang di rumah anak atau keluarganya. Rumahnya yang sederhana miliknya yang ada di Semarang akan segera dijual. "Kalau tetap di Semarang, saya justru akan semakin tersiksa karena bayang-bayang Sari tak akan pernah hilang," kata Suyatni dengan tatapan menerawang.
Henry Ismono, Gandhi Wasono
KOMENTAR