Selain dukungan, Anda juga mendapat banyak kritikan di Facebook? Tanggapan Anda?
Biarkan saja, mereka, kan, punya hak untuk bicara seperti itu.
Sempat menangis ketika dapat masalah ini?
Ya, terutama ketika curhat kepada Allah. Aku bertanya-tanya, kenapa masalah ini harus menimpaku. Padahal, kami semua, dalam satu tim, bersama-sama mengeritik pihak yang sama, dari arus yang sama. Tapi kenapa aku yang terpilih menjalani ini? Aku terus mempertanyakan rencana Allah untukku.
Aku lalu cerita ke ayah, Rahmat Aziz, yang kebetulan punya pemahaman lebih tentang agama. Dia bilang, jangan terus bertanya seperti itu. Aku harus fokus pada masalahnya. Ucapan ayahku itulah yang selalu menenangkan jiwaku dalam menghadapi permasalahan ini. Aku yakin, ada hikmah di balik semua ini. Meski sedih, tapi di hadapan orang aku pantang menangis karena yakin aku tidak bersalah. Kalau enggak begitu, bisa-bisa aku gila.
Jadi, selama 11 tahun berkarier, baru kali ini dapat masalah?
Betul! Aku enggak pernah menyangka akan diterpa masalah seperti ini dan ini memang baru pertama kali terjadi. Tapi aku percaya, untuk bisa "naik kelas", pasti ada ujian terlebih dahulu. Enggak mungkin bisa langsung lulus dan berhasil. Meski ini sangat melelahkan, bagiku setiap hari adalah ujian yang harus kulalui. Tapi seru juga, karena hikmahnya aku jadi lebih menghayati pekerjaanku sebagai wartawan.
Sudah dapat panggilan dari pihak Kepolisian?
Undangannya sudah aku terima. Senin (19/4) aku dipanggil ke Bareskrim sebagai saksi, disusul Rabu (21/4) akan ada mediasi. Tapi, toh, di satu sisi aku merasa excited karena tidak semua wartawan bisa mengalami hal seperti ini. Difitnah, diomongin orang, aku enggak peduli.
Keluarga sangat mendukung. Suamiku (dr. Tedy Sadeli, Red.) pernah bilang, "Bicaralah sesuai omongan dan jangan berubah hanya karena ingin menyenangkan orang." Aku bangga pada suamiku karena selama permasalahan ini membelitku, dia benar-benar menunjukkan perhatiannya. Dia sampai rela bolak-balik Bandung, tempatnya bekerja, ke Jakarta, khusus untuk men-support aku.
Apa yang sudah Anda persiapkan?
Pertama, sudah pasti, segala hal buruk. Termasuk kemungkinan sampai masuk penjara. Tapi aku senang dengan adanya mediasi. Bagiku ini sebuah kemajuan luar biasa. Aku lega. Setidaknya akan lebih banyak kesempatan bertukar pikiran dengan banyak pihak berwenang. Tapi, lagi-lagi, aku tetap bersyukur, karena melalui ini semua aku berjanji akan lebih lebih hati-hati dan akan melakukan banyak introspeksi ke depannya.
Ada teror yang Anda terima?
Setelah kasus ini makin ramai, banyak telepon tidak dikenal yang masuk ke handphone-ku, tapi aku enggak mau angkat. Teror dalam bentuk fisik, sih, enggak ada, tapi beberapa hari setelah tayangan itu, ada gelagat aneh dari beberapa orang. Mereka berkumpul dan kasak kusuk ke kru kami. Sempat juga parno (paranoid, Red.) saat nyetir, seperti ada yang ngikutin.
Sampai begitu, ya?
Ya. Rasanya aneh karena sebelumnya aku selalu berpikir sendiri, terbiasa mandiri, dan jarang mau berbagi dengan orang lain. Tapi menghadapi teror, apa pun bentuknya, aku sudah menyiapkan mental sebaik mungkin. Benar apa yang dikatakan temanku, "Berita baik tidak perlu persiapan diri, tapi berita buruk harus persiapan mental."
Dendam kepada Andris?
Aku justru sempat jatuh kasihan kepadanya. Aku bertanya, kenapa dia tega melakukan semua ini? Kenapa dia tidak konsisten terhadap apa yang diceritakannya ke kami? Tapi aku tidak membencinya. Mungkin dia punya alasan tertentu yang kami tidak tahu. Lagipula, kalau aku menanam kebencian, aku juga yang merasakan dampak buruknya.
Aku banyak mendapat doa dan dukungan. Malah ada yang mau bantu menangani kasusku. Intinya, aku harus tetap rendah hati dan tidak menjadi khawatir. Mulai dari Armand Maulana, Badai Keris Patih, Aviliani, teman-teman di Antv, sampai Iham Bintang. Mereka semua benar-benar menaruh simpati. Alhamdulillah. Karena kalau enggak ada orang-orang seperti itu, rasanya berat sekali.
Aku juga sempat enggak bisa tidur sehari karena berusaha melindungi narasumberku. Pimpinanku minta aku memberitahu, tapi kutolak. Ya, bagaimanapun, itu sudah risikoku. Beruntung pada akhirnya semua mem-backup dengan satu ide bahwa memang wartawan harus melindungi narasumbernya.
Pengalaman menegangkan lainnya?
Ketika dipanggil ke Dewan Pers. Membayangkan gedungnya seperti apa saja, aku sudah ketakutan. Tapi kini, ketakutan itu sudah lewat. Dulu, sih, aku masih mencoba mencari celah. Tapi buat apa, karena aku enggak salah.
Setelah kejadian itu, Anda tidak lagi terlihat di layar kaca. Sempat diistirahatkan sementara, ya?
Ya, karena aku harus mengurus masalah ini dulu dan karena ini perlu penanganan serius. Kalau siaran, kan, banyak yang harus disiapkan. Tapi aku sendiri berharap ini cepat selesai. Jujur saja, ini sangat melelahkan hati, fisik, mental, dan pikiran.
Jadi wartawan memang cita-cita sejak kecil, ya?
Dulu, aku malah memilih Fakultas Sastra. Sempat jadi penyiar di Radio Ardan dan Pro 2, Bandung, lantas aku jatuh cinta pada dunianya yang seru dan dinamis. Ketika lulus Magister Manajemen ITB, aku sempat bekerja sesuai gelar, di balik meja selama setahun. Gajinya lumayan besar tapi bosan. Ternyata lebih menyenangkan dunia radio.
Akhirnya, aku memilih kerja di teve setelah melihat pembawa acara di teve. Ketika dipanggil SCTV, ternyata aku diterima setelah melalui enam tahapan. Dulu, aku seangkatan dengan Rosiana Silalahi. Aku langsung ditempatkan di Bagian Kriminalitas selama seminggu dan setelah itu di-rolling ke Ekonomi sampai beberapa tahun.
Terakhir, aku menjabat sebagai Redaktur Ekonomi. Aku kemudian pindah ke Antv selama dua tahun dan akhirnya ke tvOne karena ada tantangan baru. Sebenarnya, pindah kerja berat banget karena harus menyesuaikan diri lagi. Tapi semua terlewati dengan baik. Sekarang aku jadi produser di Apa Kabar Indonesia dan presenter di program Satu Jam Lebih Dekat.
Dia selalu bilang, "Percayalah, ini yang terbaik buatmu." Padahal, aku sudah beberapa kali bilang ke suami, mau berhenti bekerja karena enggak enak hidup berjauhan dan aku ingin jadi ibu rumah tangga. Tapi suami melarang, aku diminta tetap bekerja. Katanya, aku enggak mungkin di rumah, paling betah seminggu, setelah itu keluyuran.
Ternyata benar apa yang dia bilang. Yang berat justru putriku, Kalyca Nathania Zahra (5). Dia sering protes sambil menangis. Selalu ingin ikut saat aku siaran. Pernah aku ajak kerja, tapi malah aku yang enggak bisa konsentrasi.
Jadi, apa rencana ke depan?
Kalau tvOne masih mempercayaiku, aku akan tetap mengabdi. Tapi kalau mereka merasa keberadaanku sudah mengganggu, ya, bagaimana lagi? Sampai saat ini, sih, enggak ada. Aku sampai tanya, kapan bisa mulai siaran lagi. Mereka bilang, secepatnya, setelah semua urusan ini beres.
Entah kebetulan atau tidak, seharusnya bulan ini adalah bulan kami. Tanggal 1 April aku ulang tahun, 4 April ulang tahun pernikahan, 20 April suamiku ulang tahun. Apakah ini hadiah atau apa, enggak tahulah. Aku juga belum ingin melakukan apa-apa setelah masalah ini selesai.
NOVERITA K. WALDAN
KOMENTAR