Tapi, justru dari sini semuanya berkembang. Setelah perusahaan rekaman ditutup, aku merasa harus mulai berbisnis dengan modal sendiri. Modal itu, antara lain, jejaring di bidang industri musik. Gara-gara pekerjaan itu, aku mengenal jaringan toko kaset di seluruh Indonesia. Kebetulan, saat itu di Bandung juga sedang tren kaus produksi C-59. Keduanya, harus bisa dimanfaatkan.
Yang jelas, talentaku memang mencari "uang kecil". Sejak memulai berbisnis, aku tak berambisi memiliki bisnis besar, seperti hotel atau bisnis properti, misalnya. Aku lebih suka bisnis dengan modal yang tak terlalu besar dan targetnya memang mengumpulkan "uang recehan".
Prinsipku, berkarya saja, uang akan datang dengan sendirinya. Aku mengibaratkan berbisnis seperti main catur. Usaha yang kita jalankan adalah pion-pionnya. Saat mulai menjalankan roda bisnis, jangan langsung menggunakan pion menteri. Sekali kalah, kita bisa rugi besar.
Aku juga pantang memasuki pasar yang sudah terbentuk. Soalnya, saingannya pasti banyak. Untuk bisa sukses, kita harus berani menciptakan pasar. Memanfaatkan kedua hal yang sepertinya berseberangan itu, aku harus putar otak. Kuputuskan untuk menjual kaus di toko kaset. Bayangkan, di tahun 1980-an itu, siapa yang terpikir untuk menjual kaus di toko kaset?
Lantaran ingin menciptakan pasar, artinya aku juga tak bisa menciptakan produk yang sama dengan yang ada di pasaran. Target pasarku adalah orang-orang yang datang ke toko kaset, artinya mereka adalah para penyuka musik. Maka, kaus-kaus yang aku pesan dari C-59 adalah kaus-kaus bertema musik.
Wah, untuk mengangkut kaus-kaus pesananku saja, aku masih menggunakan becak. Aku ingat sekali waktu album Like A Virgin dari penyanyi Madonna sedang digemari, aku membuat kaus bergambar sampul kaset Madonna. Hasilnya? Laku keras!
Di tahun-tahun itu pula, jazz sedang digandrungi banyak orang. Terutama orang Jakarta. Banyak desain kaus yang berhubungan dengan musik jazz kuciptakan. Setiap ada konser musik atau konser jazz, aku berjualan di sana.
Sewaktu Al Jarreau datang ke Jakarta, kubuat kaus bertuliskan "Al Jarreau Fans Club". Sengaja aku ke Jakarta untuk berjualan di depan Balai Sidang, di mana konser Al Jarreau berlangsung. Dulu, sih, belum banyak orang yang melakukan itu. Sekarang, hampir di setiap konser pasti banyak penjual kaus musik. Selain di konser jazz, aku juga berjualan di depan restoran Rindu Alam di kawasan Puncak.
Keuntungan menciptakan pasar sendiri, tentunya laba yang didapat bisa lebih besar. Jika biasanya harga sehelai kaus saat itu sekitar Rp 5 ribu, aku menjual kaus-kausku sampai Rp 15 ribu. Berhubung tak punya saingan, orang tetap saja membeli.
Bayangkan bila aku harus bersaing di pasar kaus yang dijual di pusat perbelanjaan, mana bisa aku meraup keuntungan sebanyak itu? Padahal, modalku untuk memulai bisnis kaus kala itu hanya Rp 1,3 juta. Modal kudapat dari tabungan gajiku selama bekerja di perusahaan rekaman.
Sisa Ekspor
Lama-lama, pasar itu benar-benar terbentuk. Orang mulai mengenalku dan produk yang kujual. Mereka sering bertanya di mana bisa mencari kaus-kaus buatanku bila mereka main ke Bandung. Akhirnya, kuputuskan menyewa toko di Cihampelas. Waktu itu, kawasan Cihampelas masih sepi, belum menjadi pusat belanja seperti sekarang. Toko jins yang buka baru satu atau dua.
Toko jins itu sebenarnya menjadi salah satu pertimbangan pemilihan Cihampelas sebagai lokasi toko. Tokonya cukup ramai, jadi kupikir, orang yang membeli jins di sana, pasti perlu kaus. Otomatis, toko kausku ikut terbawa ramai. Hingga tahun 1990-an, aku sudah memiliki sekitar empat toko di Cihampelas.
Beberapa tahun kemudian, kawasan itu mulai ramai dan aku merasa tokoku jadi semakin mirip departement store. Jadi, kuputuskan untuk menutup toko. Waktu itu, banyak barang-barang sisa ekspor. Lagi-lagi, karena alasan ingin menciptakan pasar baru, aku memilih membuka toko sisa ekspor di beberapa perumahan di Depok, Bekasi, dan Bandung.
Kenapa perumahan? Soalnya, perumahan dihuni banyak orang, kan? Pakaian juga selalu menjadi kebutuhan manusia. Nah, untuk mempermudah promosi, aku sengaja memilih rumah di samping toko swalayan yang ada di perumahan itu.
Rumah itu kusulap jadi toko tanpa mengubah interiornya. Jadi, rasanya seperti belanja di rumah saja. Harga sewa rumah juga murah, hanya Rp 3,5 juta per tahun.
Usaha kali ini bisa dibilang tak begitu berhasil. Setelah kuevaluasi, ketidakberhasilan itu karena aku salah memillih target. Kebanyakan penghuni perumahan tak begitu mengerti merek sehingga mereka tidak paham, kenapa barang-barang sisa ekspor yang kujual harganya murah.
Coba, bila saja mereka tahu berapa harga asli barang-barang bermerek A, misalnya, pasti barang itu bisa laku keras. Akhirnya, karena tak mendatangkan untung, kututup toko-toko sisa ekspor di perumahan dan mulai mencari lokasi baru.
(Siapa sangka, kegagalan toko sisa ekspor di sejumlah perumahan itu justru mengantar Perry menjadi pengusaha yang memiliki setidaknya enam buah FO di Bandung. Simak juga bagaimana Perry mengembangkan sayap bisnisnya ke usaha kuliner. Semua tersaji di NOVA nomor depan)
Sita Dewi
KOMENTAR