Terkadang, perjuangan kita selama bertahun-tahun lamanya, perjuangan yang panjang dan berliku, berat dan terjal, harus berakhir sia-sia. Seperti itulah perasaanku saat mendengar kabar kematian anak keenamku, Maria Imaculata Reni Widowati.
Sabtu (20/2) pagi itu, kira-kira jam 10.00, seorang petugas kepolisian menelepon ke rumah. Kebetulan, aku yang menerimanya. Dia bilang, anakku meninggal karena dianiaya dan sudah di RS Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tak hanya itu yang membuatku dan suamiku, Johanes Munaji, terkejut, adalah kabar berikutnya bahwa Reni tewas setelah diduga dianiaya oleh Joseph Refo, pria yang selama 16 tahun kukenal sebagai anak menantuku.
Entah setan apa yang merasuki Joseph hingga ia tega melukai Reni sampai begitu parah. Sepanjang pengetahuanku, rumah tangga mereka tak bermasalah. Reni memang tak pernah membagi urusan pribadi dan suaminya. Tiap kali ditanya kabar rumah tangganya, ia selalu menjawab, "Baik-baik saja."
Hampir setiap hari aku bertemu Reni. Selain karena rumah kami berdekatan, sekolah kedua cucuku memang dekat dengan rumahku. Biasanya, setelah mengantar anak-anaknya sekolah, Reni mampir ke rumah untuk makan atau sekadar ngobrol.
Reni dan keenam anakku yang lain juga sering berkumpul di rumahku, di perumahan Pondok Jaya. Mereka, ditambah 16 orang cucu, membuat rumah yang kutinggali berdua suami jadi ramai bukan main. Mereka semua tampak gembira saja. Setiap acara kumpul-kumpul, Joseph jarang ikut serta. Hanya di momen-momen penting saja, seperti perayaan ulang tahunku. Bila kutanya Reni, ia jawab Joseph masih tidur, sedang main golf, atau memang tak mau datang.
Yang jelas, Reni sangat dekat denganku. Tapi, sejak menikah dengan Joseph, ia jadi pribadi yang tertutup. Pada dasarnya, ia memang tak mau mengecewakan dan menyusahkan orang lain. Mungkin juga ia berusaha keras untuk membahagiakan Joseph meski mereka banyak masalah. Entahlah. Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.
Aku masih ingat, mereka bertemu saat sama-sama kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Tahun 1994, mereka menikah. Sejak berpacaran hingga sekarang, perangai Joseph tak pernah berubah. Tertutup, diam, dan cuek. Bila ditanya soal bisnis, ia baru mau buka mulut.
Setelah menikah, Reni sempat bekerja di bank swasta di Surabaya, sementara Joseph bekerja di Batam. Sampai akhirnya mereka pindah ke Jakarta dan membangun rumah di Kompleks Deplu, tak jauh dari rumahku. Mereka berdua menjadi wirausahawan yang berhasil.
Rumah berdekatan tak membuat perangai Joseph berubah. Ia masih juga jarang berkunjung. Padahal, bagiku, ia bukan lagi anak menantu, tapi sudah kuanggap seperti anak kandungku sendiri. Setelah menikah, mereka dikaruniai tiga anak, Leonardo Agastia Wisnumurti Refo (15), Yosefine Emily Refo (9), Francisco Aryobimo Refo (5), tapi tabiat cueknya masih saja ada. Reni yang lebih banyak mengurus anak-anak. Makanya, mereka bertiga sangat terpukul atas kepergian ibunya.
Saat insiden itu terjadi Sabtu subuh, Leo dan Emily sedang menginap di rumah pamannya. Apakah Joseph memang sudah merencanakan hal itu, aku tak mau berburuk sangka. Pembantu rumah tangga dan satpam yang bekerja di rumah itu pun tak tahu saat terjadi keributan di kamar Joseph dan Reni. Hanya setelah Joseph menggotong tubuh Reni yang sudah kaku ke lantai bawah, pembantu lalu membantu Joseph memasukkan tubuh Reni ke mobil.
Sulit sekali menerima kenyataan putriku kini telah tiada, meninggalkan ketiga anak yang kini tak punya orangtua lagi karena ayah mereka ditahan. Selama ini, kami selalu menjelaskan, ibu mereka meninggal karena sakit. Kini, mereka tinggal bersamaku, meski selama seminggu pertama lebih sering tidur di rumah pamannya.
Setelah pemakaman Reni, mereka baru sekali bertemu ayahnya di tahanan. Kadang mereka bertanya "Kenapa Papa enggak datang-datang?" Sedih sekali mendengarnya. Tapi, kami hanya bisa menjawab, "Papa belum bisa datang karena masih terpukul oleh kematian Mama yang mendadak." Harus bagaimana lagi? Mereka masih terlalu kecil. Belum mengerti.
Bila mengingat perjuanganku membesarkan Reni, sesak sekali rasanya. Anak yang sudah kubesarkan dengan susah payah agar ia tak hidup susah seperti aku dulu, harus disia-siakan oleh suaminya sendiri. Apa salah anakku? Jika memang sudah tak menginginkannya, kenapa tak dikembalikan saja padaku, ibunya? Kenapa harus disiksa?
Setelah kabar kematian Reni, keluarga Joseph datang dan selalu hadir di setiap prosesi. Mereka menangis saat meminta maaf kepadaku. Jujur, aku tak menyimpan dendam. Aku sudah memaafkan Joseph sejak dulu!
Di sisi lain, sikapku yang tabah dan lapang dada, membuat Joseph makin depresi. Setelah ia ditahan polisi, aku belum bertemu dengannya lagi. Tidak, aku belum siap!
Sita Dewi/bersambung
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR