Mau tahu bagaimana suasana hati seseorang yang tiba-tiba dinyatakan positif terinveksi virus HIV? "Ada yang kesal, marah pada diri sendiri, putus asa lalu mengurung diri, tapi ada juga yang cuek. Katanya, sudah telanjur, mau diapakan lagi," kisah Rika (27), relawan penderita HIV/AIDS di Yayasan Pita Jakarta. Padahal mereka tahu, kematian adalah risikonya.
Itulah gambaran alumni Universitas Atmajaya Jakarta yang sejak tahun 2003 menjadi relawan penderita HIV/AIDS. "Awalnya diajak teman mendengarkan paparan soal HIV/AIDS oleh orang Kanada. Dari situ, saya tertarik dan bergabung di Komunitas Pita yang anggotanya kebanyakan para orangtua yang anaknya mengidap HIV/AIDS," kata Rika yang punya tugas utama membuat workshop dan buletin yang dibagi gratis ke kampus dan masyarakat umum.
Meski selalu bergaul dengan pengidap HIV/AIDS, Rika tak khawatir. "Yang harus dikhawatirkan bukan penderitanya, melainkan virusnya. Orang sehat, jika kontak fisik dengan orang yang terinveksi HIV tidak apa asal tak sampai menimbulkan luka. Yang khawatir justru teman dan orangtua saya. Banyak yang beranggapan, penyakit ini gampang menular. Mereka juga takut jangan-jangan saya salah satu ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Orangtua juga was-was. Tapi itu tantangan saya untuk meyakinkan mereka."
Selain memberi bantuan informasi, Yayasan Pita juga merujuk ke mana seharusnya penderita berobat. "Kami juga memberi bantuan biaya bagi penderita yang miskin. Obat memang diberikan gratis oleh Pemerintah tapi untuk bisa memperoleh akses obat gratis, harus melalui serangkaian tes. Nah, itu, kan, perlu biaya. Ada penderita yang buat makan saja sudah susah, apalagi harus bayar biaya tes darah."
Dewi Nastiti
TES NEGATIF BERDAMPAK POSITIF
"Saya memilih menghubungi Yayasan Syamsi Dhuha (YSD), yayasan yang berfokus pada penyakit Lupus. Untunglah Dian Syarief, Ketua YSD yang juga mengidap Lupus, langsung merespon e-mail Dewi. "Bahkan saya sengaja memakai nama samaran karena tidak ingin ada keluarga yang tahu," kenangnya.
Dian langsung menyarankan Dewi melakukan tes ANA dan DSDNA, untuk mengecek kelainan antibodi. Syukurlah, hasilnya negatif. Walaupun lega, Dewi tak lantas melupakannya begitu saja. Ia langsung menyatakan kesediaannya menjadi tenaga sukarela YSD. "Meski hasil tes negatif, saya jadi tahu sakitnya saat tahu kita mengidap penyakit yang mematikan. Apalagi, waktu itu saya sendirian, jauh dari keluarga, dan belum menikah. Makanya saya ingin memberi dukungan moral buat pengidap Lupus."
Domisili Dewi yang jauh dari Bandung, pusat yayasan, tak menghalangi niat tulusnya. Ia melakukan apa saja yang bisa dikerjakan dari jauh seperti mengirim tulisan-tulisan yang inspiratif, sampai membuat resensi dari buku-buku yang bertema Lupus. Dewi juga sering mengirim camilan sehat khas Lombok yang terbuat dari rumput laut untuk kawan-kawan pengidap Lupus atau biasa disebut sahabat Odapus. "Hal sekecil apa pun bisa berarti walaupun itu hanya berupa doa."
(Bersambung)
KOMENTAR