Semula tak ada yang terasa aneh di tubuhku sampai ketika aku berniat memberi adik bagi Awan Cahya Aditya (7), buah cintaku dengan Iwan Setiyawan (40). Saat itu, Maret 2006, Awan berusia 4 tahun. "Kalau mau hamil lagi, tubuh harus siap," begitu kata dokter kandungan langgananku. Dia tahu persis, saat hamil Awan aku sering bermasalah. Pernah muntah-muntah sampai dehidrasi, bahkan sampai harus bedrest sekian hari.
Sesuai saran dokter, kuperiksa sendiri tubuhku. Salah satunya dengan memeriksa payudaraku lewat Sadari (Periksa Payudara Sendiri). Aku tersentak ketika menemukan benjolan kecil di payudara sebelah kiri. Memang, sih, tak terasa sakit, tapi tetap saja membuatku khawatir.
Untuk meyakinkan diri, kuperiksakan ke dokter. Aku masih ingat persis, 14 Maret 2006, ditemani Mas Iwan, kami mengunjungi dokter bedah umum, di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Aku menemuinya karena di rumah sakit itu tak ada ahli kankernya.
"Mungkin tumor jinak atau kanker. Supaya pasti, Ibu harus ke ahli kanker," katanya. Hari itu juga, kucari ahli kanker. Tanpa pemeriksaan laboratorium, dokter bilang, aku mengidap kanker payudara. Tak ada penjelasan lebih lanjut. Kalut dan lemaslah aku.
Sayang si dokter tidak memberikan jawaban yang simpatik. "Harus segera dioperasi. Tidak boleh berlama-lama. Paling lama tiga minggu. Kalau kanker sudah menyebar ke seluruh tubuh, artinya tidak ada harapan lagi."
Aku yang panik, menanyakan sederet pertanyaan yang intinya ingin mengetahui lebih detail penyakitku. Tapi dokter tidak memberi jawaban yang memuaskan. "Baru bisa dijawab setelah operasi," jawabnya tanpa basa-basi.
Ungkapan dan penjelasannya membuatku tidak simpati padanya. Sebenarnya, aku perlu dokter yang sanggup meredam ketakutanku. Wajar, aku, kan, awam soal kanker. Di keluargaku, tidak ada yang menderita kanker. Aku hanya membayangkan, kanker penyakit yang mematikan. Aku cemas, takut, bingung. Semua bercampur jadi satu. Dengan rasa marah, kuambil semua hasil lab yang tergeletak di meja dokter lalu kutinggalkan si dokter. Sempat kulontarkan ungkapan kejengkelanku padanya, "Kalau umur saya memang enggak panjang, akan saya cari sendiri kain kafan saya."
Begitulah, sampai tujuah kali aku memeriksakan diri ke dokter berlainan. Aku ingin meredam semua kekalutanku. Tak satu pun dokter yang bisa memberi informasi seperti yang kubutuhkan, Kejengkelanku membuatku tidak kembali lagi ke dokter. Untuk melupakan penyakitku, aku kembali beraktivitas sebagai pengacara di lembaga yang kudirikan.
(Bersambung)
Henry Ismono
KOMENTAR