"Saat memulai usaha ini, banyak yang bilang, belimbing bukan sesuatu yang spesial karena di setiap rumah pasti ada pohon belimbing dan selalu berbuah. Jadi, masyarakat merasa, buat apa beli jus belimbing?"
Toh, empat sekawan ini tak menyerah. "Ya, kami anggap seperti saat air mineral dibuat dalam kemasan saja. Pertama dipandang sebelah mata tapi sekarang?" papar Rahmawati yang memerlukan waktu lama sampai mendapatkan formula yang tepat. "Ada yang bilang warnanya terlalu tua, rasanya kurang manis, kurang asem, dan lain-lain. Kami coba terus sampai dapat resep yang pas dan bisa diterima semua kalangan. Yang paling susah, menjaga agar rasa dan warna tetap sama karena buah belimbing yang kami dapat dari petani, berbeda-beda warna dan rasanya."
"Kalau belimbing 1 Kg digoreng, paling yang jadi keripik hanya satu ons. Penyusutannya sangat besar. Belum lagi kemasannya harus kedap udara agar keripik tidak cepat melempem," terang Rahmawati yang setiap bulan mengolah sekuintal belimbing untuk dijadikan keripik.
Begitulah, para petani di Depok sejak dua tahun belakangan ini tengah gencar-gencarnya mengembangkan belimbing. "Saya mulai menanam belimbing jenis Dewa, tahun 1997 dan baru tiga tahun belakangan ini intens menanam belimbing. Itu juga setelah dapat pelatihan untuk meningkatkan produksi pohon belimbing dari pemkot," kata Basuni (40), petani yang juga bagian pemasaran PKPBDD.
Sebagai pengurus PKPBDD, ia wajib membuka pasar. "Awalnya agak sulit menjual semua hasil panen petani. Di tahun pertama, kami pernah membuang sampai 60 ton belimbing karena enggak laku." Untunglah, pengalaman pahit itu tak terulang lagi. "Malah, kami kewalahan memenuhi permintaan pasar. Terlebih sekarang sudah ada penampung belimbing untuk dijadikan produk olahan lain seperti jus, selai, sirop, dan keripik."
Edwin Yusman F
KOMENTAR