Sudah lebih dari 45 hari anakku Aka terbaring koma di Ruang ICU RS Siloam Karawaci. Memang, sih, sekarang kondisinya cukup stabil. Tapi sejak kecelakaan pesawat latih itu, Aka belum pernah bangun dari tidur panjangnya. Kondisinya memang jauh lebih baik ketimbang saat pertama kali aku sampai di RS Siloam, tak lama setelah kabar kecelakaan itu sampai di telingaku.
Masih segar dalam ingatanku, Senin pagi itu, seperti biasa aku bekerja di kantorku, Bursa Efek Indonesia, kawasan Sudirman, Jakarta. Baru Minggu malamnya aku dan adik lelakiku mengantar Aka kembali ke asramanya di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug. Taruna STPI memang boleh pulang ke rumah setiap akhir pekan, selebihnya mereka harus menginap di asrama.
Sebenarnya, akhir pekan itu Aka agak kurang sehat. Jumat malam ia minta dijemput dan mengeluh kurang enak badan. Jam 21.00, aku dan adikku menjemputnya dan langsung menuju UGD RS Siloam Karawaci untuk memeriksakan kondisinya. Ternyata hanya flu biasa, tapi bagi penerbang, stamina prima mutlak dibutuhkan.
Saat itu dokter merekomendasikan Aka beristirahat, bahkan membuatkan surat izin tak masuk kelas hingga hari Rabu. Aka juga sudah berniat mengantarkan surat itu ke STPI Senin pagi. Tapi Minggu sore, ia berubah pikiran, "Besok ada jadwal, Aka mau masuk saja," katanya. Jadwal yang ia maksudkan adalah latihan terbang dengan (alm) Teeza Ariaputra, instrukturnya. Aka memang semangat sekali menjalani latihan terbang karena bisa menambah jam terbangnya yang sudah 11 jam.
Hingga Senin pagi, sekitar pukul 09.30, seorang instruktur Aka meneleponku, memberi kabar kecelakaan yang menimpa anak bungsuku itu. Tak pernah kuduga kecelakaan itu sangat fatal hingga menyebabkan anakku koma. Memang, risiko penerbang sangat tinggi, tapi aku mengira lukanya tak sampai separah ini.
Setelah minta izin kepada atasan, aku pun langsung meluncur ke rumah sakit dengan menggunakan taksi. Sesampainya di sana, meski tak sampai pingsan, aku cukup terhenyak melihat kondisi Aka. Dia baru saja di-CT Scan dan lukanya sedang dibersihkan. Tak bisa kulukiskan wajah Aka saat itu. Bengkak di mana-mana, hidungnya sampai tak terlihat karena tertutup bibir. Wajahnya mirip mumi setelah diperban. Pukul 12.00, Aka masuk ruang operasi untuk menjalani operasi pertama. Lima liter darah ditransfusikan ke dalam tubuhnya yang sudah kehilangan 3 liter darah.
Di rumah sakit, aku bertemu keluarga Moekmin, keluarga Teeza. Itu memang pertemuan pertama dan sejak itulah kami saling menguatkan satu sama lain. Malam hari, Romlan A. Gani, ayah Aka tiba dari Bengkulu, tempat ia bekerja. Sejak kami bercerai, Aka memang tinggal denganku, sementara ayah kandungnya menetap dan bekerja di Bengkulu. Dokter pun lantas memberi masukan, Aka tak perlu dievakuasi medis ke Singapura karena pihak rumah sakit bilang mereka masih mampu.
Sejak hari itu, selama dua minggu aku diberi izin tidak bekerja tanpa dispensasi dan tidak dipotong cuti untuk mengurus Aka. Di minggu pertama Teeza dan Aka di ruang ICU, tepatnya hari Jumat, Teeza berpulang ke Rahmatullah. Takutkah aku? Entahlah. Sejak mereka masuk ICU dalam kondisi koma, aku dan keluarga Moekmin sudah pasrah dan ikhlas. Pernah aku berkata pada Aka, "Nak, kalau sudah tidak kuat lagi, Mama ikhlaskan kamu pergi."
Dua Kali Tes
Menjadi penerbang memang sudah diidam-idamkan Aka sejak masih duduk di bangku sekolah. Kebetulan, kami tinggal di Parung Panjang yang tak jauh dari STPI. Tiap kali lewat kawasan itu, ia sering melihat taruna-taruna yang tampak gagah. Sepertinya sejak saat itu dia termotivasi menjadi taruna STPI.
KOMENTAR