Untuk menjadi taruna STPI, Aka harus menjalani dua kali tes. Pada 2008, tepatnya saat seleksi STPI untuk taruna angkatan 61, Aka gagal menembus tes bakat. Untungnya ia ia diterima di Ilmu Komputer Universitas Sriwijaya, Palembang. Jadi, selama setahun ia tak menganggur.
Oleh karena tekadnya sudah kuat, di tahun kedua, yaitu seleksi angkatan 62, Aka kembali mendaftar. Pulang pergi Jakarta-Palembang pun rela ia jalani. Setiap tahapan tes, aku selalu mengawasi dan memotivasi.
Syukurlah, kali kedua ini, ia lolos! Ia pun tak meneruskan kuliahnya di Unsri meski Aka juga sangat menyukai komputer sampai-sampai pekerjaaannya di rumah hanya merusakkan komputer saja. Ah, mengingat masa-masa itu, aku bahagia sekali rasanya.
Berbeda dengan Teeza, Aka tidak dilahirkan dari keluarga penerbang. Kalau kecelakaan ini tidak terjadi, Aka akan menjadi penerbang pertama di keluargaku. Ia juga seringkali menggoda Ayu, kakaknya yang kini masih kuliah di Bandung, "Lihat saja nanti kalau aku sudah jadi pilot, nanti aku jalan-jalan ke banyak tempat." Sayangnya, Tuhan berkehendak lain.
Sosok Aka berbeda dengan anak kebanyakan. Ia lebih banyak diam di rumah, mengutak-atik komputer atau main game. Dia juga anak yang santun, baik, dan tidak suka hura-hura. Ibadahnya juga rajin. Menurut kawan sekamarnya, ia cukup pendiam, terutama sebelum terbang. Kalau sudah selesai terbang, baru dia bisa bercanda.
SITA DEWI/ bersambung
KOMENTAR