Sejak kecil, anakku yang lahir 14 November 1982 itu sudah akrab dengan pesawat. Maklum, ia lahir dari keluarga penerbang. Di usia 3 tahun, ia sudah merasakan duduk di kokpit pesawat bersama ayahnya, Abdul Moekmin. Ujung-ujungnya, paling ia diurus oleh para pramugari. Tiap kali pulang terbang, ayahnya pun selalu membawakan Teeza oleh-oleh yang berhubungan dengan pesawat.
Tak hanya ikut duduk di kokpit melihat ayahnya mengemudikan pesawat. Pernah suatu kali, saat pesawat melintasi India, Teeza dibiarkan melakukan komunikasi dengan menara kontrol. Sejak itulah, sepertinya tak ada impian lain bagi Teeza selain menjadi pilot, terutama pesawat komersial.
Guru sekolahnya pernah bilang kepadaku, setiap tugas menggambar, di semua gambar Teeza pasti ada gambar pesawat melintas. Saking khawatir karena melihat Teeza sangat terobsesi menjadi pilot, aku sampai berkonsultasi ke psikolog. Aku hanya takut, kalau gagal, ia akan kecewa berat. Tapi sulit karena keinginan putra sulungku untuk menjadi penerbang semakin tak terbendung.
Benar saja. Lulus SMA, Teeza sudah mantap ingin masuk sekolah penerbangan. Sayangnya, di tahun 2000 itu dampak krisis ekonomi masih terasa. Industri penerbangan sedang tak bagus dan banyak sekolah penerbang yang tutup. Kusarankan ia mendaftar di Teknik Penerbangan ITB. Teeza memang menerima saranku meski terlihat ogah-ogahan. Terbukti, ia tak lulus ujian masuknya.
Bagi Teeza, masuk Angkatan Udara juga boleh, yang penting ia bisa jadi penerbang. Akhirnya, setelah melihat iklan di surat kabar, ia tertarik mengikuti seleksi Akademi Angkatan Udara (AAU). Sayangnya, syarat administratif pun sudah tak terpenuhi, karena usia Teeza kurang tiga bulan saja. Tapi sebagai ibu, aku tak ingin ia kecewa. Tetap kudampingi ia mendaftar.
Baru pada tahap pemeriksaan persyaratan administrasi, anakku sudah dibentak. Aku berusaha bernegosiasi, tapi apa daya, upayaku sia-sia. Teeza diminta mendaftar lagi tahun depan.
Teeza sangat terpukul karenanya, bahkan sampai menangis. Aku baru berani menyampaikan kabar ini kepada ayahnya setelah ia pulang terbang. Kami pun sepakat mendorongnya mendaftar ke universitas. Kukatakan padanya, masih ada universitas swasta yang membuka pendaftaran gelombang kedua. Seperti sebelumnya, Teeza menyambut ide itu dengan separuh hati.
Hasilnya, Teeza lulus dengan nilai baik ke Jurusan Teknik Industri, Bina Nusantara. Seperti sudah kuduga sebelumnya, Teeza menyambut kabar itu dengan tidak antusias. Selama kuliah, tak pernah kulihat ia duduk di meja belajarnya. Laporan akademiknya pun selalu penuh dengan kekurangan. Bila ia ternyata tak pernah benar-benar pergi ke kampus pun, aku tak terkejut lagi.
Ternyata Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI), Curug, membuka pendaftaran dan secara diam-diam Teeza mendaftar. Hingga tahap ketiga, karena ia perlu uang untuk cek medis, barulah ia buka suara. Mulai detik itu, aku dan Romrom, panggilan ayah Teeza, langsung mendukungnya habis-habisan.
Setiap kali ayahnya sedang tidak terbang, pasti menemani Teeza ke Curug untuk menjalani berbagai macam tes. Kebetulan, suamiku alumni STPI Curug. Setelah melalui berbagai tahap, Teeza resah menunggu surat pemberitahuan dari Curug. Ia makin gelisah ketika tahu ada yang sudah menerima pemberitahuan kelulusan sementara ia belum.
Ketika akhirnya surat itu tiba, Teeza dinyatakan sebagai satu dari 25 orang yang lulus. Tak bisa kugambarkan betapa bahagianya anakku kala itu. Tahun 2005 ia resmi menjadi Taruna STPI angkatan 59. Tiap hari, yang dilakukannya hanya menghitung hari hingga ia masuk asrama. Lucunya, Teeza menempati kamar asrama yang sama dengan yang dihuni Romrom. Kata temannya, Teeza sampai menempelkan kepala ke dinding sambil berkata, "Mudah-mudahan otak bapak gue ketinggalan." Ha ha ha... Teeza memang sangat mengidolakan Romrom-nya.
Dua tahun berselang, anakku lulus. Oleh karena ikatan dinas, ia pun harus menjalani dua tahun kerja sebagai instruktur di STPI sebelum diperbolehkan "ngompreng". Itu istilah jika mereka ingin menyambi sebagai pilot pesawat komersial. Tahun 2009, ia diterima di dua perusahaan penerbangan, Garuda Indonesia dan AirAsia. Aku dan Romrom berusaha memengaruhinya untuk bergabung dengan Garuda Indonesia. Namun, untuk menjadi co-pilot saja ia harus menunggu enam hingga delapan bulan.
Dengan alasan tak mau terlalu lama menunggu, ia lalu memilih bergabung dengan AirAsia. Apalagi, nantinya ia bakal langsung jadi co-pilot pesawat jenis Airbus. Belakangan aku tahu, ia ingin segera menunjukkan kepada ayahnya, ia berhasil menjadi pilot pesawat komersial sebelum ayahnya pensiun terbang sebentar lagi.
Ah, kalau saja kecelakaan itu tak terjadi, Sabtu (24/4) akan menjadi hari pertamanya sebagai co-pilot di AirAsia. Adiknya, Tasha Ayudhya (24) yang bekerja sebagai pramugari di AirAsia, sudah diminta mendampingi di penerbangan perdananya. Ia pun sudah berpesan pada Tasha, "Nanti kamu temenin gue terbang ya, Dik. See you on board!," katanya waktu itu. Pedih bagiku karena hari itu tak pernah terjadi.
SITA DEWI / bersambung
KOMENTAR