Saat ini, HW memiliki jurnal bulanan yang diterbitkan dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang didistribusikan di dalam dan luar negeri. "Selain menjadi media komunikasi antara anggota, jurnal kami juga menyajikan cerita seputar sejarah dan perkembangan terbaru dari kain Indonesia. Jadi orang di luar negeri juga bisa mengikuti."
Bagi HW, yang terpenting adalah bagaimana membangkitkan awareness masyarakat Indonesia untuk melestarikan budaya bangsa, termasuk kain adat. "Semakin tinggi apresiasi masyarakat, maka ketahanan kita di bidang pelestarian kain akan semakin kuat. Tak perlu takut, jika kita melestarikannya dengan baik, semua orang akan tahu dengan sendirinya, kok, mana yang asli dan kaya, mana yang palsu dan asal mengaku," tutup Adiati.
Meski usia organisasi Rumah Pesona Kain (RPK) jauh lebih muda dari HW, namun RPK memiliki tujuan serupa HW yakni melestarikan kain asli Indonesia. Diawali dari kecintaan sembilan wanita yakni Linda Agum Gumelar, Ike Nirwan Bakrie, Sri Redjeki Sulistio, Darwina Pontjo Sutowo, Ade Krisnaraga Syarfuan, Seminarti Gobel, Rahmi A.P. Tahir, Linda Herlinada, dan Yuni B. Adam, RPK dibentuk pada September 2005 silam.
"Mereka kumpulan ibu-ibu cantik, yang memang dari sananya sudah cinta dengan kain. Ke mana-mana, ya, pakai kain. Bahkan sebelum kain jadi booming lagi, mereka sudah jadi pengguna dan kolektor kain," ujar Sativa Sutan Anwar, pakar tekstil yang juga kerap bergabung dalam kegiatan-kegiatan RPK.
Konsep menghumaskan kain secara pribadi itu memang diakui sebagai salah satu keunggulan usaha RPK dalam melestarikan kain nusantara. Ke manapun seluruh anggota RPK bepergian, semuanya akan mengenakan kain. Bukan karena paksaan, tapi karena kecintaan akan kain sudah mendarah daging.
"Sejak kecil, saya sudah tertular ibu saya, yang memang pecinta kain. Setelah menikah, ibu mertua saya lah yang pertama kali mengenalkan kain tapis Lampung. Sejak itu saya tambah cinta pada kain," ungkap Ade Krisnaga Syarfuan, salah satu pemrakarsa RPK.
Bagi para ibu yang terlibat di RPK, kain adalah passion mereka yang paling utama. Kecintaan dan passion itulah yang membuat mereka rela terjun ke pelosok-pelosok negeri. Konsep terjun langsung ke daerah memang dirasa menjadi aksi ampuh untuk turut membesarkan nama kain tradisional.
Oleh komunitas RPK, pengrajin-pengrajin yang tersebar di seluruh nusantara dibina dan dipantau untuk membantu usaha mereka. Dari memberikan modal, fasilitas, dan pemasaran, semua ditangani ibu-ibu anggota RPK.
"Sekarang, tercatat kurang lebih 31 pengrajin di 31 daerah di seluruh Indonesia yang sudah menjadi binaan kami. Kami membantu mereka mulai dari biaya, teknik tekstil seperti warna dan bahan, hingga pemasaran," lanjut Ade.
Agar semakin fokus membina setiap pengrajin, ibu-ibu anggota RPK kemudian dibagi per wilayah binaan. Biasanya, ibu-ibu tadi tergabung ke dalam kelompok kecil beranggotakan 2-3 orang, yang membawahi wilayah binaan.
Ade misalnya, bertanggung jawab untuk beberapa pengrajin binaan seperti Tapis dan Inuh Lampung, Songket Sumatera Barat (bersama Sativa), Songket Singaraja dan Negara (Bali), Songket Jambi dan beberapa daerah lain.
KOMENTAR