Berawal dari keprihatinan mantan gubernur DKI Jakarta, (alm) Ali Sadikin, akan kelestarian kain dari seluruh nusantara, Himpunan Wastraprema (HW), organisasi yang peduli dengan kain adati Indonesia, resmi dibentuk pada 28 Juni 1976. Niat baik Almarhum pun disambut baik oleh tokoh-tokoh yang kemudian dikenal sebagai pendiri HW, diantaranya Lasmidjah Hardi, Gusti Putri Mangkunegoro VII, dan Herawati Diah.
Kata Wastraprema sendiri diambil dari bahasa Sansekerta. "Wastra berarti kain, dan prema berarti cinta dan kekaguman. Jadi, wastraprema artinya kecintaan dan kekaguman akan kain," ujar Adiati Arifin Siregar yang saat ini menjabat sebagai ketua HW.
Kata 'wastra' itu pula lah yang saat ini rajin dikampanyekan Adiati untuk menggantikan kata 'kain'. "Kain itu, kan, maknanya bisa luas sekali, termasuk kain-kain yang dibuat cetakan atau massal. Tapi kalau wastra, lebih ke art. Kain-kain yang dihasilkan dengan citarasa seni dan craft yang tinggi," lanjutnya.
Seiring perkembangan zaman dan perubahan generasi kepengurusan, kegiatan HW yang tadinya hanya mengumpulkan kain-kain adati nusantara dan menggelar diskusi, semakin berkembang. Semuanya seiring dengan pertambahan jumlah anggota.
HW hadir sebagai wujud nyata upaya pelestarian aneka macam kain adati dari seluruh penjuru nusantara. Seluruh anggota yang tergabung pun memiliki komitmen serupa untuk melestarikan kain nusantara.
Untuk itu, HW sering mengadakan beragam kegiatan sebagai upaya pelestarian kain. Yang rutin adalah seminar, diskusi, dan pameran. Khusus untuk pameran, sudah tiga tahun ini, HW sukses menggelar pameran Adiwastra dengan tiga tema yang berbeda pula.
"Tahun 2008 temanya tentang kain tradisional unggulan nusantara. Kain-kain yang umurnya ratusan tahun, bersejarah, dan punya banyak cerita, ada di sana. Tahun 2009 bertema tutup kepala nusantara adati. Dari Aceh sampai Papua. Nah, tahun ini temanya gendongan atau carrying cloth untuk membawa barang atau bayi di badan."
Selain itu, Adiati melalui HW pun memrakarsai kunjungan ke daerah-daerah sentra kain tradisional dalam kemasan program wisata budaya. Secara rutin, anggota HW melakukan perjalanan ke daerah-daerah untuk mendalami proses pembuatan dan komunitas kain.
Selain itu, wisata kuliner dan sejarah pun dijadikan cantelan. "Kami sudah pernah berwisata budaya ke Jogja-Jateng, Pesisir Pantai Utara, Sumatera Barat hingga Toraja. Dalam rombongan besar, saya dan anggota HW mengunjungi langsung penenun kain dan sentra kain-kain adat. Pengalaman yang luar biasa," lanjut ibu tiga putra ini.
Meski tak rutin, sesekali Adiati pun memboyong koleksi HW ke luar negeri untuk diikutkan ke pameran-pameran yang bergengsi. Potensi memperkenalkan kain nusantara di kancah internasional memang menjadi salah satu tujuan HW.
Saat ini, HW memiliki jurnal bulanan yang diterbitkan dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang didistribusikan di dalam dan luar negeri. "Selain menjadi media komunikasi antara anggota, jurnal kami juga menyajikan cerita seputar sejarah dan perkembangan terbaru dari kain Indonesia. Jadi orang di luar negeri juga bisa mengikuti."
Bagi HW, yang terpenting adalah bagaimana membangkitkan awareness masyarakat Indonesia untuk melestarikan budaya bangsa, termasuk kain adat. "Semakin tinggi apresiasi masyarakat, maka ketahanan kita di bidang pelestarian kain akan semakin kuat. Tak perlu takut, jika kita melestarikannya dengan baik, semua orang akan tahu dengan sendirinya, kok, mana yang asli dan kaya, mana yang palsu dan asal mengaku," tutup Adiati.
Meski usia organisasi Rumah Pesona Kain (RPK) jauh lebih muda dari HW, namun RPK memiliki tujuan serupa HW yakni melestarikan kain asli Indonesia. Diawali dari kecintaan sembilan wanita yakni Linda Agum Gumelar, Ike Nirwan Bakrie, Sri Redjeki Sulistio, Darwina Pontjo Sutowo, Ade Krisnaraga Syarfuan, Seminarti Gobel, Rahmi A.P. Tahir, Linda Herlinada, dan Yuni B. Adam, RPK dibentuk pada September 2005 silam.
"Mereka kumpulan ibu-ibu cantik, yang memang dari sananya sudah cinta dengan kain. Ke mana-mana, ya, pakai kain. Bahkan sebelum kain jadi booming lagi, mereka sudah jadi pengguna dan kolektor kain," ujar Sativa Sutan Anwar, pakar tekstil yang juga kerap bergabung dalam kegiatan-kegiatan RPK.
Konsep menghumaskan kain secara pribadi itu memang diakui sebagai salah satu keunggulan usaha RPK dalam melestarikan kain nusantara. Ke manapun seluruh anggota RPK bepergian, semuanya akan mengenakan kain. Bukan karena paksaan, tapi karena kecintaan akan kain sudah mendarah daging.
"Sejak kecil, saya sudah tertular ibu saya, yang memang pecinta kain. Setelah menikah, ibu mertua saya lah yang pertama kali mengenalkan kain tapis Lampung. Sejak itu saya tambah cinta pada kain," ungkap Ade Krisnaga Syarfuan, salah satu pemrakarsa RPK.
Bagi para ibu yang terlibat di RPK, kain adalah passion mereka yang paling utama. Kecintaan dan passion itulah yang membuat mereka rela terjun ke pelosok-pelosok negeri. Konsep terjun langsung ke daerah memang dirasa menjadi aksi ampuh untuk turut membesarkan nama kain tradisional.
Oleh komunitas RPK, pengrajin-pengrajin yang tersebar di seluruh nusantara dibina dan dipantau untuk membantu usaha mereka. Dari memberikan modal, fasilitas, dan pemasaran, semua ditangani ibu-ibu anggota RPK.
"Sekarang, tercatat kurang lebih 31 pengrajin di 31 daerah di seluruh Indonesia yang sudah menjadi binaan kami. Kami membantu mereka mulai dari biaya, teknik tekstil seperti warna dan bahan, hingga pemasaran," lanjut Ade.
Agar semakin fokus membina setiap pengrajin, ibu-ibu anggota RPK kemudian dibagi per wilayah binaan. Biasanya, ibu-ibu tadi tergabung ke dalam kelompok kecil beranggotakan 2-3 orang, yang membawahi wilayah binaan.
Ade misalnya, bertanggung jawab untuk beberapa pengrajin binaan seperti Tapis dan Inuh Lampung, Songket Sumatera Barat (bersama Sativa), Songket Singaraja dan Negara (Bali), Songket Jambi dan beberapa daerah lain.
Ketua RPK, Ike Nirwan Bakrie membawahi beberapa derah binaan seperti Tenun Sutra Jawa Barat, Manik Kalimantan Barat, Kain Sulam Benang Sanggau, dan beberapa daerah lainnya.
"Tak hanya rutin berkunjung dan membina, sesekali kami mengundang pengrajin binaan ke Jakarta untuk pameran kecil-kecilan. Kami juga sering bekerjasama dengan desainer kondang untuk menampilkan karya pengrajin binaan kami. Yang membeli juga antara kami-kami saja. Jadi, konsepnya, ya, dari kami, untuk kami, dan masyarakat," tambah Ade. Nama-nama seperti Oscar Lawalatta, Ghea Panggabean, Ari Saputra, Carmanita, Barly Asmara menjadi desainer langganan RPK.
Tak jarang, karena setiap anggota mewakili daerah binaan yang berbeda, 'persaingan' terselubung turut membumbui kegiatan RPK.
"Tapi persaingannya sehat, lho. Toh, semuanya bertujuan sama, melestarikan kain Indonesia. Kalau semua semakin menggebu-gebu, kan ,kain juga yang akan naik pamornya," sambung Sativa.
Untuk setiap pengrajin binaan, tak lupa RPK memberi pengetahuan tambahan, soal warna, benang, bahan dan banyak lagi. "Jadi enggak sekadar berpergian dan promosi saja," kata Ade.
Pengetahuan itu juga termasuk meng-up date informasi soal tren kain. RPK tak ingin para pengrajin tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaiaman selera dan tren kain yang sedang berkembang saat ini. Oleh karena yang memakai rata-rata adalah ibu-ibu yang juga bergaya modern, maka secara rutin, dalam kunjungannya ke daerah binaan, RPK menekankan soal tren terbaru.
"Soalnya, kan, yang memakai, ya, ibu-ibu ini juga. Pastinya enggak mau ketinggalan model dan tren, dong. Kadang kami memberi masukan soal bagaimana corak dan warna yang oke dan tidak kuno. Semuanya sebagai usaha agar kain bisa lebih diterima di masyarakat," kata Sativa.
Tak hanya peduli kepada daerah binaan, selanjutnya RPK akan melebarkan sayap di bidang marketing. Galeri khusus akan dibangun sebagai wadah untuk menampung hasil karya pengrajin binaan RPK. Rencana awal, RPK akan membuka 3 galeri sekaligus yakni di Epicentrum (Kuningan), Alun-alun Grand Indonesia dan di Bali. Saat ini sedang memasuki tahap pengumpulan kain dari seluruh nusantara.
Lantas, siapa saja yang bisa tergabung dalam wadah RPK? "Siapa saja kami terima. Enggak harus ibu-ibu pejabat atau pengusaha. Di sini, kami semua sama, tujuannya cuma satu, sehati untuk melestarikan kain Indonesia. Siapapun, dan dari latar belakang apapun, kami terima dengan tangan terbuka. Bahkan yang tidak mengerti kain pun bisa. Nanti, kan, bisa belajar sama-sama di sini," tutup Ade.
YETTA ANGELINA
KOMENTAR