Beberapa hari belakangan ini, aku sulit tidur. Mungkin karena kelelahan menerima tamu yang datang silih berganti. Sayang, mereka datang bukan dengan wajah riang, melainkan ingin menyampaikan belasungkawa atas kematian anak nomor duaku, Retno atau Setianti Dwi Retno.
Sampai saat ini, kami masih berpegang pada dugaan Retno dihabisi perampok karena tiga buah HP dan dompetnya hilang. Yang aku sesalkan, kenapa Retno harus dibunuh dan tidak mengambil hartanya saja?
Aku ingin sekali si pelaku segera tertangkap dan dihukum mati. Itu sebabnya, sebetulnya aku enggan diwawancara. Takut memperkeruh suasana dan pelakunya kabur. Apalagi, sejumlah pemberitaan tentang putriku itu membuatku sedih. Tak benar putriku bekerja di kelab malam.
Dia anak baik dan pintar. Sekolahnya, baik SMP dan SMA, selalu di tempat favorit. Bahkan, sekarang ini, ia kuliah di STAN. Waktu SMP, Retno selalu dapat ranking satu.
Sejak kecil, dia pendiam dan pemalu. Yang jelas, tubuhnya sudah terlihat bagus dan punya "bakat" jadi model sejak ia masih kanak-kanak. Awalnya aku malah khawatir karena badannya terlampau cepat tinggi. Karena takut memiliki kelainan, kubawa ia ke sinshe. Ternyata tak ada masalah. Malah, sinshe itu bilang, tubuh anakku memang tubuh seorang model. Aku sendiri tak pernah mengarahkan ia jadi model. Justru lebih mendukung cita-citanya yang ingin jadi dokter.
Kepandainya pula yang membawanya mengikuti Olimpiade Fisika Matematika dan mencapai final tingkat nasional. Retno memang ingin sekali jadi dokter. Aku sangat terharu ketika mendengar alasannya, "Siapa lagi yang mau menjunjung derajat keluarga kalau bukan aku," begitu kata Retno.
Aku yakin, secara otak, Retno sangat mampu karena nilainya sangat bagus. Sayangnya, tidak demikian halnya di segi keuangan. Karena ngeri membayangkan berapa banyak yang harus dikeluarkan untuk kuliah, akhirnya ia urung masuk Fakultas Kedokteran. Ibaratnya, aku mundur sebelum bertempur. Yang salah bukan anakku, tapi aku, ibunya, kenapa enggak mampu membiayai kuliah.
Daripada tak kuliah, akhirnya ia banting setir kuliah di STAN. Alhamdulillah bisa masuk karena nilainya bagus. Aku ingat sekali saat mendaftar di sana, biaya kuliahnya gratis, cuma bayar Rp 16 ribu untuk jaket almamater.
Nah, di sela-sela kuliahnya, Retno menjadi model. Setidaknya, itulah yang aku tahu. Kerja persisnya bagaimana, aku kurang tahu. Sebenarnya, Retno pernah ditawari main sinetron oleh Eko Patrio. Mereka ketemu saat ada peragaan busana di suatu tempat. Tapi putriku tak mau karena sinetron sangat menyita waktu, sementara ia masih konsentrasi dengan kuliahnya.
(Bersambung)
Noverita K. Waldan
KOMENTAR