Jelas, Etty kecewa dan marah. "Yang jelas, Ibu kecewa karena sudah diuruskan surat ini-itu, disekolahkan, tapi dia malah bolos. Ibu memang keras kalau soal pendidikan, karena dulunya orang susah." Etty, lanjut Ijul, sempat ngomel selama beberapa hari, "Saking marahnya Ibu sampai bilang pada Syid, kalau enggak mau sekolah, jadi pembantu aja." Etty juga menghukum Syid tidak boleh sekolah dua hari.
Pertemuan Terakhir
Apa mau dikata, yang kemudian terjadi benar-benar di luar dugaan Ijul. Dia tak pernah menyangka, pertemuannya dengan sang ibu (Minggu, 11/10) adalah pertemuan terakhir. Pukul 07.00, ketika Ijul akan kembali ke Bandung, "Saya sempat mencium tangan Ibu, lalu bergegas masuk ke mobil. Sorenya saya ditelepon Ayah. Katanya, sekitar jam 11.00, Ibu dan Syid tak ada di rumah sementara pintu rumah dalam kondisi terbuka." Kabar itu membuat Ijul bertanya-tanya. "Saya minta Ayah menanyakan ke beberapa saudara dan tetangga. Ternyata hasilnya nihil."
Malamnya, Ijul minta sang ayah mengecek keberadaan sepatu, sandal, ATM, KTP, hingga kerudung yang biasa digunakan Etty. "Ternyata semuanya ada. Saya langsung khawatir. Berarti ada indikasi Ibu keluar rumah tidak atas keinginan sendiri alias dipaksa." Amir dan Ijul kemudian berbagi tugas menghubungi semua sanak-kerabat yang mungkin didatangi Etty.
Di situlah jasad Etty ditemukan. Persisnya di selokan, dengan tubuh berlumuran darah. "Saya tak tega melihat jasad Ibu. Saya enggak mau merusak kenangan akan Ibu," kata Ijul yang saat itu menyangka pelakunya adalah orang lain. "Enggak mungkin Syid! Badannya saja kecil." Tak lama kemudian, Syid ditangkap petugas ketika sedang mondar-mandir di depan sekolah. Belakangan, bocah itu mengaku, membunuh ibu angkatnya karena kesal dimarahi.
"Dendam? Tidaklah. Bagi kami, ini memang sudah jadi jalannya Ibu. Kami sudah ikhlas. Kami menanggap dia (Syid, Red.) sebagai perantara qadar ibu. Ibu berniat baik ingin menyejahterakan hidup anak terlantar. Jadi, bagi kami, Ibu mati sahid!
Sita Dewi
KOMENTAR