Zulfanny (Ikal)
BANTU BIAYA KULIAH KAKAK
Zulfanny atau Fanny terkesan pendiam dan tertutup. Meski kini terkenal berkat perannya sebagai Ikal, Fanny menaggapinya dengan biasa-biasa saja. Pun pertemuannya dengan Presiden SBY. "Biasa saja, tapi senanglah. Kan, tak semua orang bisa ketemu presiden," katanya dengan logat Melayu.
Fanny memang tidak seenerjik Verrys (Mahar) atau Yogi (Kucai). Namun, di balik pembawaannya yang kalem, Fanny memiliki cita-cita menjadi tentara. "Dari dulu sudah ingin jadi tentara. Enak saja melihat tentara baris dan berseragam rapi," katanya. Ia pun sudah punya segudang rencana demi menggapai impiannya itu. Termasuk keinginannya masuk SMU Taruna Nusantara di Magelang.
Bermain sebagai Ikal, katanya, memberi berkah tersendiri. Sebagian besar honor yang didapatnya, ditabung, meski beasiswa yang menjamin pendidikannya sudah diraihnya. "Aku ingin membantu biaya kuliah kakak yang tahun depan akan tamat dari SMU. Biaya kuliah, kan, mahal," kata anak kedua dari tiga bersaudara ini dengan bijak.
Orangtua Fanny yang berprofesi sebagai pedagang, memang tidak sanggup memberi banyak fasilitas pada anak-anaknya. Meski begitu, Fanny, dengan segala kebersahajaannya, tetap berusaha membantu orangtuanya. Bahkan, setelah tenar sebagai Ikal, Fanny tak pernah segan membantu orangtuanya berjualan.
Dalam waktu dekat, Fanny dan keluarganya akan pindah, mencari tempat tinggal yang lebih baik. "Yang sekarang sudah tak nyaman, karena di dekat rumah mau dibangun pabrik. Mudah-mudahan uangnya cukup untuk pindah rumah," harapnya.
Verrys Yamarno (Mahar)
CALON USTAZ YANG JAGO MAIN DRUM
Dengan radio yang selalu menggantung di lehernya, tokoh Mahar selalu terdepan untuk urusan seni. Ia pun senantiasa digambarkan ceria. Nah, karakter dan pembawaan itu tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki Verrys Yamarno, pemeran Mahar.
Namun ada pula perbedaan antara Verrys saat ini dan Verrys ketika menjadi Mahar. Tiga kali berkunjung ke Jakarta, tubuh Verrys terlihat lebih gemuk. Maklum, Verys selalu melahap apa saja yang dihidangkan. Apalagi jika sedang berada di Jakarta, jauh dari pengawasan ibunya. Padahal, selama syuting berlangsung, Verrys harus rela menahan napsu makannya agar tubuhnya tak melebar. "Waktu syuting, makananku memang dibatasi. Itu perintah langsung dari Mas Riri Riza, karena perannya, kan, jadi anak orang miskin. Masa anak orang miskin gemuk?" katanya sambil tertawa geli.
Dalam kesehariannya, bungsu dari dua bersaudara ini tak pernah lepas dari musik. Bahkan honor pertamanya dari LP, sebagian digunakan untuk membeli MP 4 Player dan seperangkat drum mainan. Maklum saja, Verrys sangat menggilai alat musik gebuk itu. "Maunya beli drum asli, yang sungguhan, tapi tak ada duit. Mahal nian," ujarnya dengan dialek Belitung yang khas.
Saat berusia 7 tahun, orangtua Verrys, Normala-M. Yamin bercerai. Sejak itu, ia tinggal bersama kakak dan ibunya di Desa Gantung, Belitung Timur. Namun, meski besar di keluarga yang tidak utuh, Verrys tumbuh sehat jasmani dan rohani. Yang jelas, ibunya mendidiknya cukup keras. Kehidupan mereka pun, jauh dari mewah. Rumah kayu yang ditempati, belum dilengkapi saluran listrik. Malam hari, mereka mengandalkan lampu minyak sebagai penerangan. "Mau beli genset tapi tak ada duit. Mending ditabung untuk sekolah. Kalau malam, aku sering ngungsi ke rumah Nenek. Di sana suka nonton TV dan dengar musik."
Siapa sangka, dalam kesederhanaan, Verrys justru bisa tumbuh menjadi anak yang sangat berbakat. Termasuk untuk urusan musik. "Aku suka lagu-lagu Chrisye, Ebiet G. Ade, dan Koes Plus. Aku juga suka Siti Nurhaliza. Semua lagu mereka indah," ungkap Verrys yang sesekali, jika ada uang saku berlebih, bersama beberapa teman di kampungnya patungan berlatih band di sebuah studio musik di kampung tetangga.
Lalu, apa cita-cita Verys? "Aku mau jadi ustaz!" jawabnya lantang. Mau main film lagi? "Aku, sih, tergantung Uma (ibu dalam bahasa Belitung, Red.) Kalau main film bisa bantu Uma mencari nafkah, ya, aku mau-mau saja. Yang penting Uma senang dan bahagia."
Ferdian (Lintang)
MENANGIS SAAT NONTON LP
Gema sukses LP masih belum reda, tapi Ferdi sudah larut lagi dalam kesibukan sehari-hari. "Aku paling suka mancing. Biasanya sama Bapak, naik motor sampai ke pantai-pantai yang jauh. Kalau sudah mancing suka lupa waktu, jadi Mama suka marah," kata Ferdi tentang kegiatannya yang dinilai paling mengasyikkan.
Selain memancing, bermain dan memelihara burung menjadi kegemaran Ferdi. Entah kenapa, hobi yang biasanya dilakoni orang dewasa itu sangat dinikmatinya. Sehari-hari, sepulang sekolah, bocah kelahiran 10 November 1995 ini selalu meluangkan waktu untuk merawat dua ekor burung yang dibelinya dari honor bermain di LP. "Main sama burung-burung, enak. Gak bikin bosan. Maunya beli burung-burung yang bagus, tapi terlalu mahal, belum ada duitnya," ujar Ferdi.
Menjalani syuting selama 40 hari ditambah jadwal promo yang belum juga usai, Ferdi mengaku sempat tertinggal dalam urusan pelajaran. Untungnya, ibunya, Suheny, dengan setia mengantarkan buku-buku untuk bahan bacaan Ferdi. "Dibandingkan Ferdi, Lintang masih lebih pandai. Aku mau jadi pandai seperti Lintang."
Karena alasan pendidikan pula, orang tua Ferdi membatasinya untuk menerima tawaran lain setelah film LP. "Kami takut dia tidak fokus ke pendidikan, padahal itu yang terpenting. Kalau sekolahnya sudah selesai, terserah dia mau apa. Yang penting, sekolah harus beres dulu," tutur Iskandar, ayah Ferdi, yang sehari-hari bekerja mendulang timah.
Meski tersohor sebagai Lintang, di kampung halamannya Ferdi masih bebas berkeliaran tanpa penggemar yang datang mengerubutinya. Berbeda ketika ia berada di Jakarta. Namun, di sekitar tempat Ferdi tinggal, ada seorang anak bernama Gabriel (4) yang jadi penggemar setia Ferdi. Bahkan, Gabriel yang tinggal di depan rumah Ferdi, mempunyai setumpuk koleksi kliping dan foto-foto Ferdi selama berlakon di LP.
Setiap hari Gabriel selalu mengunjungi Ferdi dan bercengkrama dengannya. "Ini abangku, Lintang," ujar Gabriel dengan bangga sambil memeluk Ferdi. Sesekali memang beberapa orang menyapanya sebagai Lintang. "Saya tak suka dipanggil Lintang," kata Ferdi yang bercita-cita ingin jadi orang sukses.
Meski baru pertama kali main film, akting Ferdia amat memukau ketika ia digambarkan harus meninggalkan sekolah demi membesarkan adik-adiknya. "Saya sendiri sempat menangis ketika melihatnya. Waktu nonton adegan perpisahan dan adegan lari-lari di pasar waktu hujan, tak terasa saya menangis. Tak tahu kenapa jadi terharu."
Yetta Angelina
Foto : Yetta, Willem
KOMENTAR