Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Sekumpulan mahasiswa terlihat duduk di kursi dan meja kayu panjang, asyik membahas mata kuliah di kampus. Sebagian mahasiswa lainnya, dengan ditemani secangkir kopi, sibuk membuka laptop dan mengerjakan tugas kuliah.
Di sudut lainnya, beberapa pria tampak asyik berbincang tentang akik, topik yang saat ini juga tengah digandrungi banyak orang. Masing-masing terlihat tak mau kalah, mengeluarkan beberapa cincin dengan bentuk dan warna berbeda. Semakin malam, warkop itu makin dipenuhi pengunjung, dari beragam usia dan latar belakang.
Suasana di atas merupakan pemandangan di Warkop Stadion yang berlokasi di Gayung Kebonsari, Surabaya. Gambaran serupa juga tampak di berbagai warkop yang saat ini muncul bak cendawan di musim hujan di berbagai sudut kota Surabaya. Ya, warkop menjadi sebuah fenomena menarik, tidak hanya tempat ngopi namun juga orang berinteraksi.
Bikin Nobar
“Di warkop, mulai mahasiswa, sales, sampai pekerja bawahan berkumpul,” kata Grenda Sri Bhisma (38) pemilik Warkop Stadion. Grenda yang sehari-hari reporter sebuah stasiun televisi swasta nasional mulai membuka usaha warkop tahun 2010 lalu. Dia memilih warkop sebagai usaha karena beberapa alasan.
Alasan utamanya, usaha ini tak lekang oleh waktu, tak mengenal musim. Pelanggannya beragam, mulai orang bermobil sampai tukang becak. “Beda kalau kafe, pasarnya hanya kelas menengah. Pada saatnya ada titik jenuh dan akhirnya omzet menurun. Lihat saja kafe yang dulu namanya berkibar sekarang ini sudah menurun,” papar Grenda yang sebelum mendirikan warkop melakukan “studi banding” di beberapa warkop yang ada di Surabaya.
Agar Warkop Stadion menjadi tujuan pelanggan, Grenda tak sekadar menyediakan kopi dan aneka jenis makanan serta nasi bungkus, tetapi juga memanfaatkan event demam bola. Karena itu, meski di awal berdiri hanya berupa gerobak kecil di emperan depan rumahnya di pertigaan Jalan Manyar, Surabaya, namun dipasang teve berbayar yang menyiarkan pertandingan Liga Inggris. “Itu salah satu pertimbangan orang mau ngopi di sini,” imbuh Grenda yang sudah mematenkan logo Warkop Stadion ke Kementerian Kehakiman.
Nonton bareng (nobar) ala warkop menjadi strategi ampuh Grenda untuk menarik pelanggan sekaligus memfasilitasi mereka yang berkantung tipis agar tetap bisa menonton pertandingan sepak bola dalam suasana meriah. “Menonton bola kalau sendirian di rumah kan kurang asyik. Sementara kalau melihat di hotel atau kafe, charge-nya lumayan mahal,” imbuh Grenda.
Buka 24 Jam
Namun, dagangan utama warkop tetaplah kopi. Karena itu, untuk soal yang satu ini Grenda tidak main-main. Kopi yang dijualnya harus benar-benar memiliki kualitas rasa di atas yang lain. Grenda mengaku mendapat pasokan kopi berkualitas ekspor dari salah seorang tetangganya yang eksportir kopi. “Memang yang dijual ke saya bukan yang premium, karena yang premium tetap saja untuk ekspor. Yang dijual ke saya kualitasnya di bawahnya sedikit,” dalih bapak dua orang anak tersebut.
Dan perlahan tapi pasti, penghasilan dari Warkop Stadion pun makin meningkat. Bahkan dua tahun lalu Grenda melakukan ekspansi dengan membuka cabang kedua di Jalang Gayung Kebonsari. Untuk cabang kedua ini, lahannya merupakan milik rekanan, sementara dia menangani logistik serta pengelolaan.
Menurut Grenda, ada satu lagi pembeda warkop dengan usaha sejenis, misalnya dengan angkringan khas Yogya yang di Surabaya juga mulai marak. “Angkringan hanya buka malam hari, sementara warkop buka 24 jam. Jadi, karyawan saya kerja dua shift, siang dan malam,” kata Grenda. Grenda sendiri memiliki 6 karyawan untuk warkop di Manyar dan 5 karyawan untuk warkop di Jl. Gayung Kebonsari.
Penulis | : | Nova |
Editor | : | Sukrisna [cak KRIS] |
KOMENTAR