Kapan Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) berdiri?
KPR resmi kami dirikan 14 Februari 2004, tapi ide pendirian itu sudah ada sejak tahun 2002. Pendirinya saya bersama beberapa teman pergerakan, seperti Emy Nur Hidayati, Bulqoisus, Ira Lidyaningsih, Sulamul Hadi serta Muhaerly.
Saat itu kami menganggap perlu mendirikan lembaga ini karena semua isu atau masalah perempuan tidak bisa terakomodir dengan baik dan mandek begitu saja. Misalnya, tidak ada perwakilan perempuan di tempat-tempat pengambil kebijakan, mulai dari pemerintahan desa, kecamatan sampai kabupaten dan dewan. Termasuk di organisasi pun saat itu belum ada direktur perempuan. Pada saat deklarasi pendirian, kami mengundang berbagai pihak termasuk perwakilan partai.
Apa respons saat itu?
Saat berdiri, mulai muncul stigma-stigma buruk terhadap KPR. Misalnya, KPR dianggap sebagai lembaga sesat, dituduh memiliki pemahaman yang mengajarkan perlawanan terhadap laki-laki, ada lagi yang menduga kelak KPR ini yang akan merampok uang Pemda. Sebagian orang mempunyai keyakinan bahwa KPR tidak akan bertahan lama. Singkat cerita, semua tuduhan buruk itu diarahkan kepada kami.
Reaksi Anda?
Justru dari sana menunjukkan bahwa pihak-pihak tersebut ketakutan dengan keberadaan kami. Dan itu yang membuat kami makin tertantang, adrenalin kami justru makin meningkat. Tak lama setelah itu KPR diundang partai PAN, kemudian PDIP, yang ingin sharing sebab mereka juga mengusung isu perempuan dalam visi misi partainya.
Sekitar 3 bulan berikutnya, saya yang saat itu terpilih menjadi direktur KPR menjalin kerja sama dengan sesama teman di pergerakan di Jatim yang saat itu memunculkan isu mendorong 30 persen parlemen daerah sampai pusat haruslah diisi sosok perempuan. Setelah sepakat, KPR mulai melakukan sosialisasi di berbagai Kecamatan di Tuban yang berisi tentang ajakan kepada para perempuan agar memilih wakil perempuan saat Pemilu. Saat itu tentangan makin kuat.
Tentangan yang bagaimana?
Pernah suatu ketika saat saya melakukan sosialisasi di rumah salah satu anggota komunitas di sebuah desa, tiba-tiba didatangi petugas kecamatan. Petugas mengusir kami karena kami dianggap LSM sesat. “Kami tidak butuh organisasi perempuan, di sini sudah ada PKK, Fatayat NU, Muslimat NU, juga ada Aisyiah,” kata sang petugas sambil berteriak. Demikian pula ketika kami akan mengadakan kegiatan di Pemda sempat ditolak, sebab KPR dianggap lembaga bohong-bohongan. Sejak itu KPR ini kami legalkan dengan mendaftarkan di notaris, dan lain-lain.
Setelah resmi secara hukum, kami kemudian mengajukan permohonan untuk bisa bertemu dengan Bupati Tuban Heny, yang kebetulan seorang perempuan. Yang membuat saya senang saat itu, Ibu Heny langsung meminta kami presentasi tentang program KPR untuk pemberdayaan perempuan di Tuban. Tentu saja kesempatan itu tak saya sia-siakan. Usai presentasi, Bu Bupati kemudian memberi fasilitas KPR dengan menggandeng Bapemas Kabupaten untuk melakukan sosialiasi tentang gender serta UU Perlindungan Anak di kecamatan Singgahan. Ternyata, meski pemerintah memberi fasilitas, tentangan dari masyarakat belum selesai.
Kenapa lagi?
Setelah pemateri dengan topik lain selesai, oleh Bapemas saya diberi kesempatan bicara. Tapi belum sempat saya berdiri tiba-tiba seorang bapak menyela. Dengan suara berapi-api dia mengatakan, “Saya pikir materinya sudah cukup dan Nunuk Fauziyah tidak perlu berbicara lagi. Sebab saya tahu materi yang diberikan Nunuk ini mengarah kepada ajaran perempuan melawan laki-laki. Ini adalah ajaran sesat dan tanda-tanda mau kiamat,” teriaknya. Suasana hening, dan ketua Bapemas langsung menghubungi Polsek untuk minta pengamanan. Dalam waktu singkat polisi berdatangan karena dikhawatirkan akan terjadi sesuatu. He he he.
Anda sendiri bagaimana?
Saya berusaha tenang, dan setelah bapak tersebut berhenti, saya ganti menjelaskan. Sebenarnya bapak tersebut keberatan ketika saya mau menjelaskan tetapi para ibu yang lain mencoba mempersilakan saya berbicara. “Saya minta waktu 10 menit saja untuk menjelaskan. Nanti setelah 10 menit ternyata bapak ibu masih tidak berkenan dengan penjelasan saya, maka tanpa disuruh pun saya akan pergi meninggalkan tempat ini.” kata saya dengan tenang. Dan ibu-ibu yang ada di belakang menyerukan saya untuk terus menjelaskan.
Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya kemudian membuat ilustrasi tentang kegiatan seorang suami dan istri ketika di rumah. Di waktu yang singkat itu saya uraikan kira-kira bahwa setelah dihitung, aktivitas seorang perempuan di rumah jauh lebih banyak daripada seorang bapak. Rupanya penjelasan singkat itu begitu mengena sehingga ketika waktu 10 menit sudah lewat, saya ditahan tidak boleh pulang dan diminta terus melanjutkan materi.
Dan apa yang terjadi kemudian? Bapak yang semula memprotes saya tadi bersedia mendengarkan materi saya lima jam penuh dari 3,5 tiga jam yang sudah ditentukan. Dan yang membuat surprise lagi, bapak tadi akhirnya menjadi ketua kelompok dan juru bicara di acara diskusi itu.
Di akhir acara, si bapak menanyakan kepada saya tentang latar belakang pendidikan saya. Dan dia nyaris tak percaya kalau saya tamatan IKIP di Tuban, karena dia mengira saya kuliah di Yogya atau UI. Sebelum pergi dan menjabat tangan saya, saya berikan sebuah buku.
Bagaimana tanggapan keluarga besar ketika Anda memilih menjadi aktivis?
Tentu saja menentang. Maunya selesai kuliah saya diminta jadi pegawai negeri, menikah dan merawat anak di rumah. Mereka kan tidak tahu apa itu LSM atau dunia pergerakan. Soal keluarga ini saya pernah punya cerita yang cukup dramatis.
Apa itu?
Suatu ketika saya berada di sebuah lokalisasi PSK di Tuban untuk melakukan pedampingan pada seorang PSK yang saat itu mendapat masalah. Entah mungkin lagi apes, ketika saya berjalan di kompleks tersebut ada seorang tetangga desa berjalan menggandeng dua orang PSK. Semula saya biasa saja. Tapi apa yang terjadi, ketika pulang ke desa, ia menyebarkan berita kalau saya jadi PSK. Gemparlah desa waktu itu. Berita tersebut tentu membuat malu keluarga. Maklum, keluarga besar kami adalah penganut agama yang taat. Malam itu juga saya ditelepon kakak dan dipaksa pulang saat itu juga.
Dengan terpaksa di hari yang masih gelap saya pulang, dan begitu masuk rumah semua saudara menangis. Saya diminta mengenakan jarit sebatas dada, dipukuli, kemudian dibacakan ayat-ayat suci sambil dimandiin air kembang. Semua keluarga besar saya mengira saya sudah sesat sehingga sampai menjadi PSK! Saya diam saja, soalnya percuma juga membela diri dalam suasana seperti itu.
Beruntung, keesokan harinya saya minta Mas Sulamul Hadi, yang kini jadi suami saya, supaya pura-pura mengaku sebagai dosen saya dan datang ke rumah untuk menjelaskan bahwa di lokalisasi PSK tersebut saya memang benar-benar dalam tugas pendampingan. Syukurlah, Mas Hadi berhasil meyakinkan keluarga.
Sekarang, seluruh keluarga besar saya dan warga desa sangat respek dan bangga dengan pekerjaan saya.
Pernah mendapat tentangan atau teror juga?
Banyak juga. Dulu di tahun 2004 awal-awal jadi aktivis saat saya mendampingi korban pemerkosaan yang salah satu tersangkanya keluarga bupati, saya sempat ditabrak tiga motor dengan enam penumpang. Saat itu salah satu dari mereka memeluk saya sambil tangannya memegang belati terhunus mengarah ke dada saya. Saat itu saya diancam akan diperkosa dan dibunuh. Bahkan belakangan ini saya juga mendapat teror luar biasa.
Bagaimana ceritanya?
Kejadiannya sekitar dua bulan lalu ketika saya melakukan pendampingan pada seorang bocah miskin bernama Vicky di Kecamatan Widang. Anak ini dituduh mencuri motor. Saat di pasar membantu ibunya dia ditangkap. Oleh seorang oknum polisi, Vicky ditelanjangi, dipukuli, dadanya, diinjak, dan mulutnya dimasuki pistol. Padahal dia bukan pelakunya. Bagaimana dia mencuri motor sementara dia tidak bisa naik motor?
Semula polisi mengelak, tetapi dengan bukti-bukti yang sangat gamblang akhirnya pelaku tidak bisa berkelit lagi. Yang terjadi, saya diteror habis-habisan. Saya diminta tidak boleh mendampingi korban lagi. Berhari-hari di depan kantor, di ujung gang, kemanapun saya pergi selalu dibuntuti orang bermobil. Telepon gelap dan ancaman pembunuhan melalui telepon saya terima.
Puncaknya ponsel saya disadap. Ponsel saya tiba-tiba kirim SMS ke teman saya padahal saya tidak merasa berkirim SMS kepadanya, demikian juga sebaliknya. Tiba-tiba kamera ponsel saya memotret sendiri dan alat rekam tiba-tiba merekam seluruh percakapan saya. Semua itu baru berhenti setelah saya dibantu sesorang yang mengerti tentang hal itu. Jujur saya sempat stres juga.
Beruntung ada Mas Hadi yang selalu mendukung. Tetapi, kalau dalam hal-hal seperti ini, saya di-support abah mertua saya, KH. Abdul Matin, Pengasuh Ponpes Sunan Bejagung. Abah selalu mendukung penuh sepanjang langkah saya benar.
Dengan pressure yang begitu kuat, apa Anda tidak takut? Pernah berpikir untuk berhenti saja sebagai aktivis?
Dalam batas tertentu ada perasaan takut. Tapi, saya tak akan berhenti. Kalau memang saya harus mati karena membela sebuah kebenaran, saya rela karena saya akan mati terhormat. Kalau saya berhenti, lalu bagaimana nasib orang-orang yang tertindas seperti Vicky?
Saat ini Anda dibantu berapa teman?
Sahabat-sahabat saya aktivis dulu akhirnya masing-masing menikah dan mengasuh anak-anak di rumah. Saat ini saya punya enam teman yang membantu mengelola ditambah sekitar 60 relawan yang tersebar di berbagai desa dan kecamatan. Saya akui, saya sangat sangat bangga dengan teman-teman di KPR ini. Mereka adalah anak-anak yang tangguh. Saya tidak akan bisa berbuat sesuatu tanpa bantuan mereka.
Jujur saja saat ini susah mencari kader yang mumpuni. Kemampuan para mahasiswa yang melamar jauh dari harapan. Karena itu salah satu caranya saya mengkader dari awal kemudian saya kuliahkan sampai lulus dengan biaya KPR.
Ngomong-ngomong, dari mana dana untuk menjalankan semua ini berasal?
Saya dapat dana dengan melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga nasional maupun internasional yang memiliki visi yang sama tentang pemberdayaan perempuan maupun pendampingan anak dan wanita yang bermasalah.
Bagaimana kisah cinta Anda dengan suami?
Kebetulan, Mas Hadi ini teman sejak awal, jadi kita sama-sama tahu. Hanya saja Mas Hadi asal Tuban dan kuliah di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, sementara saya asal Lamongan kuliah di Tuban. Tetapi, karena sama-sama aktivis, jadi bisa menyatu. Yang membuat saya gembira, setelah pacaran dan merasa cocok, saya mengadakan “kontrak politik” dengan Mas Hadi. Saya menanyakan kepada dia, apakah setelah menikah saya masih tetap diperbolehkan berkiprah menjadi aktivis. Dan alhamdulillah Mas Hadi ternyata justru meminta saya tidak boleh berhenti (Saat ini Hadi berprofesi sebagai pengacara dan saat ini menjadi ketua Panwaslu Kabupaten Tuban)
Sampai kapan Anda akan menekuni dunia pergerakan?
Jujur, sejatinya saya ingin melakukan sesuatu yang lain. Tapi ketika masih melihat ketidakadilan yang nyata-nyata di depan mata saya tidak tega meninggalkan dunia LSM ini.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR