Sedianya, 28 Agustus lalu, Dita pulang ke rumah kami di Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara seusai bertugas selama dua minggu di Papua. Ya, tanggal 14 Agustus silam ia memang berangkat ke Papua untuk bertugas. Sudah sejak November 2012, anak sulungku ini bekerja sebagai pramugari di Trigana Air. Kebanyakan tugasnya memang di Indonesia Timur, antara lain Pangkalan Bun, Sentani, Berau, dan sebagainya.
Nah, biasanya, kalau sedang berada di rumah, Dita menghabiskan waktu bersamaku, ke mana pun. Pergi ke salon, mal, atau makan, selalu bersamaku. Atau, kalau sedang ingin di rumah, kami karaokean bersama. Biasanya kami juga pergi bersama Ardiansyah, kekasihnya, dan ibunya yang biasa kusapa Mama Fera. Namun, itu semua tak mungkin lagi, sejak pesawat yang ia awaki jatuh di Pegunungan Bintang, Papua, sehari sebelum peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
Harusnya, pesawat yang berangkat dari Sentani pada pukul 14.22 WIT dan mengangkut 49 penumpang itu mendarat di Bandara Oksibil pukul 15.04 WIT. Aku sendiri baru mengetahuinya ketika hendak berangkat ke Universitas Jakarta (Unija) untuk mengurus berkas kuliah Dita, hari itu. Sejak pagi, mau berangkat rasanya agak malas. Aku memilih mengecek status Dita di akun Path miliknya.
Biasanya, dia memang menulis tentang keberadaannya lewat status di Path, misalnya dia sudah berada di Sentani atau dia hendak terbang. Dia sendiri selalu rajin memberitahuku setiap kali hendak terbang atau setelah mendarat. Jadi, tak ada perasaan aneh dalam hatiku hari itu. Setelah cukup lama menunggu taksi karena kendaraan Dita sedang di bengkel, aku langsung menuju apartemen di kawasan Kalibata, tempat Mama Fera tinggal bersama anak-anaknya.
Mama Fera dan kedua anaknya, Ian (panggilan Adiansyah - Red.), dan Maya, memang berencana akan mengantarku ke kampus, karena lokasinya dekat. Sampai di lobi apartemen, aku agak heran ketika Mama Fera menyuruhku naik. Tumben belum siap, karena kampus akan tutup tak sampai satu jam lagi, sore itu. Tanpa curiga, aku naik ke tempatnya tinggal. Di sana, ada beberapa teman Dita. Tak berapa lama, ponsel di tasku berbunyi. Maya langsung mengambilnya dan menjawab telepon di kamar.
Mengharap Mukjizat
Aku tetap diminta duduk. Perasaanku mulai tak enak, tapi pertanyaanku hanya dijawab, “Tidak ada apa-apa.” Tak berapa lama, Maya dan Ian keluar dari kamar langsung memelukku. Aku bingung. Sambil menangis, mereka mengatakan pesawat Dita hilang kontak. Mereka tak berani memberitahuku sebelumnya karena belum ada kepastian, menunggu kabar dari Trigana Air. Rupanya, saat ponselku berbunyi itu, pihak Trigana Air yang menelepon untuk memberitahuku.
Meski sangat syok, saat itu juga aku dan keluarga Mama Fera berangkat ke kantor pusat Trigana. Pihak Trigana menenangkan kami sambil berharap tidak ada apa-apa. Kami sendiri berharap ada mukjizat dari Allah. Sampai malam kami menunggu, tapi tetap belum ada kabar. Suamiku, Teddy Kurniawan (46) yang saat itu tengah bekerja, dan adikku langsung menyusul. Sambil terus berdoa agar Dita selamat, hatiku tak karuan rasanya. Selasa (18/8), aku, suamiku, adikku, Ian, kakaknya, dan Mama Fera berangkat ke Papua untuk mencari kepastian.
Ternyata, Tuhan berkehendak lain. Pesawat yang Dita tumpangi jatuh, seluruh penumpang dan kru pesawat meninggal. Meski keluargaku dan keluarga Ian sudah tahu apa yang terjadi, tetap saja aku mengharapkan mukjizat Tuhan, apa pun kondisinya. Namun, begitu melihat namanya dalam daftar nama korban, aku langsung tahu itu anakku. Meski sedih luar biasa karena anakku tak bisa selamat, Aku bersyukur saat jenazahnya ditemukan, Dita dalam keadaan utuh.
Bahkan, semua yang melekat di tubuhnya termasuk pakaian, kalung, gelang, dan lainnya pun tetap ada dan dikembalikan padaku. Jumat, kami langsung menjalani tes DNA dan lainnya. Setelah jenazah Dita dimandikan, sore itu juga kami bisa mendapat tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta. Keinginanku untuk bisa satu pesawat dengan jenazah Dita terkabul, padahal sedianya jenazah baru akan diterbangkan esok paginya.
Sabtu tanggal 22 Augstus, selepas Zuhur, jenazah Dita dimakamkan. Alhamdulillah, semua proses ini dimudahkan Allah, sehingga kami hanya dua hari di Papua. Bagiku, itulah kebesaran Allah. Mungkin ini tak lepas dari bakti Dita terhadap kami orangtuanya. Itu yang dia buktikan bahwa dia berhasil membuat kedua orangtuanya bangga sampai akhir hidupnya, seperti yang ia inginkan selama ini. Ia juga ingin kami tak diremehkan orang lain.
Jadi Feminin
KOMENTAR