Di Bandung, saya diberi tempat tinggal di sebuah bangunan seperti ruko di pemukiman yang berdekatan dengan tempat pembuangan sampah. Banyak anak-anak yang bekerja sebagai pemulung, bermain di depan ruko sampai malam, tanpa ingat waktu. Kadang main bola dan kena pintu sehingga berbunyi keras, sering pencet-pencet bel, main gitar, dan lain-lain. Pokoknya sangat mengganggu. Saya pun kerap marah karena bayi saya jadi sering menangis karena kaget.
Suatu hari waktu saya ingin memarahi mereka, tiba-tiba suara hati saya bilang, ‘Jangan marah, coba bangun hubungan.’ Akhirnya saya membuka pintu dan bertanya, kok mereka enggak sekolah? Mereka menjawab enggak punya biaya. Spontan, saya menawarkan mengajari mereka bahasa Inggris. Mereka pun menerima dengan senang. Akhirnya, saya membuka pintu dan mempersilakan 5 anak untuk belajar bahasa Inggris di ruang makan.
Dari lima anak, jumlahnya kemudian berkembang menjadi delapan, kemudian sepuluh hingga lima belas anak. Tak lama, ada pula panti rehabilitasi di Lembang yang meminta saya mengajarkan bahasa Inggris kepada para staf. Semuanya saya berikan cuma-cuma.
>Lantas, apa yang terjadi?
Saya bertanya-tanya, untuk apa ya saya disuruh pulang ke Indonesia? Saya mendapatkan jawaban bahwa yang paling dibutuhkan orang miskin adalah keluar dari kemiskinan. Dan saya harus bisa membantu mereka untuk keluar dari kemiskinan, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan membuat taraf hidup mereka meningkat.
Sejak itu, setiap kali suami mendapatkan penghasilan, rutin 30% saya belikan sembako dan bagikan kepada masyarakat tidak mampu agar mereka bisa makan. Singkat cerita, pengusaha yang menggaji kami kemudian menawarkan kami kembali ke Australia dan membantu seorang pendeta yang akan membuka gereja.
Saat itu kami ditawari gaji 4.000 USD plus rumah dan mobil. Tapi kami menolak dan memilih kembali pulang ke Jakarta. Untungnya, tak lama saya ditawari sebuah perusahaan yang ingin membuka cabang di Jakarta. Mengetahui passion saya adalah membantu anak-anak jalanan dan anak-anak tidak mampu, mereka pun ikut membantu memberikan dana meskipun tidak full.
Kemudian?
Tahun 2007, saya mendirikan Yayasan Tangan Pengharapan. Awalnya dibantu keluarga, kemudian teman-teman. Sejak awal, karena tidak ingin donasi masuk ke rekening pribadi, maka ada rekening khusus yang bisa diaudit, sehingga semuanya transparan. Pelan-pelan dari sedikit dana yang masuk lama-lama semakin besar. Bahkan 60% donatur itu saya enggak kenal karena memang saya enggak pernah menyebarkan brosur. Dari sinilah saya mulai membuat program untuk Yayasan Tangan Pengharapan.
Program apa saja yang dijalankan?
Di Jakarta, saya membuka 8 feeding center, memberi makanan gratis dan bimbingan belajar gratis. Bulan Oktober 2007, ada 1.028 anak yang dilayani. Namun, bulan Maret 2008, program ini saya hentikan karena saya mendapati anak-anak jalanan ini tidak butuh makan. Mereka bahkan bisa kok mendapat uang Rp25.000-Rp300.000 per hari. Ini yang membuat mereka enggak mau sekolah dan banyak orangtuanya yang menyuruh anak-anak ini di jalan karena menguntungkan daripada belajar.
Karena putus asa dan kesal, saya pergi ke daerah pelosok yang minim bantuan. Sejak 2008, saya pergi dari satu pulau ke pulau lain untuk misi kemanusiaan. Dari Jawa Tengah, Halmahera, NTT, Papua, Mentawai, Kalimantan Barat dan terus menjelajahi pelosok Indonesia. Ada beberapa program yang saya buat, antara lain Feeding and Learning Center yaitu program pemberian makanan bergizi, pemberian pendidikan dan sarananya sampai keterampilan untuk masa depan yang lebih baik.
KOMENTAR