Perempuan hebat kelahiran Jakarta 23 Januari 1978 ini mengikutu panggilan jiwanya untuk menolong kaum papa. Dialah Henny Kristianus (37). Sejak tahun 2007 ia mendirikan Yayasan Tangan Pengharapan. Ibu Tiga anak ini berkomitmen terus menjelajahi pelosok Tanah AIr dan memberikan kontribusi dibidang pendidikan, kesehatan, serta ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan kaum papa.
Bagaimana ceritanya Anda bisa tertarik terjun di bidang kemanusiaan?
Dulu, saya pernah mengalami masa sulit, ditinggalkan orangtua sejak umur 10 tahun. Kedua orangtua bercerai dan masing-masing menikah kembali. Saya lahir dari keluarga broken home. Hidup pun dari belas kasihan kerabat. Karena tidak tahu orangtua di mana, saya, kakak dan adik hidup seperti terdampar. Kakak diadopsi paman sejak tahun 1993 dan kemudian bermigrasi ke Australia. Adik saya pernah terkena narkoba, sempat overdosis dua kali. Wah, pokoknya hidup kami hancur-hancuran.
Ketika umur 18 tahun, saya dibuang ke Australia. Sepertinya keren ya, dibuang ke luar negeri, tapi kenyataannya hidup saya betul-betul penuh perjuangan. Saya pernah berjualan kue, pernah jadi tukang masak, jadi kasir, pokoknya keras sekali hidup di Australia. Untuk mengirit biaya hidup dan bisa bayar sekolah sendiri, saya bahkan harus rela tinggal di ruang tamu, itupun karena belas kasihan teman-teman yang sharing apartemen.
Oleh karena itu, saya bisa merasakan betul bagaimana rasanya menjadi orang susah dan tak punya orangtua. Yah, mungkin ini sudah jalan Tuhan.
Lalu, bagaimana awalnya mendirikan Yayasan Tangan Pengharapan?
Semua bermula sejak kepulangan saya ke Tanah Air tanggal 26 Januari 2006. Sebelumnya saya tinggal, kuliah dan menikah di Australia. Saat itu saya minta izin ke suami, Yoanes Kristianus, ingin beristirahat 2 bulan dan pulang ke rumah mama pasca melahirkan si kembar, Chloe Kristianus (10) dan Zoe Kristianus (10). Saat itu mereka baru berusia 4 bulan. Suami setuju dan mengantar ke Indonesia, kemudian dia kembali ke Australia mengurus bisnis kami di sana.
Selama di Indonesia, suara hati sepertinya menyuruh saya tinggal, tapi saat itu masih enggak jelas maksudnya apa. Setelah dua bulan berlalu, suami datang menjemput. Saya bertanya, bagaimana kalau tinggal di Indonesia saja? Tentu ini keputusan yang cukup “gila” mengingat di Australia kami sudah mendapatkan Permanent Residence (PR). Hidup kami bisa dibilang mapan, ada rumah, bisnis bagus, keluarga besar di sana juga. Sementara kalau pulang ke Indonesia berarti kami harus memulai semuanya dari nol.
Suami akhirnya setuju. Apalagi, dia juga langsung mendapat panggilan sebagai motivator di beberapa instansi.
Kemudian?
Tak lama, suami mendapatkan tawaran pekerjaan yang cukup aneh. Ada pengusaha yang kami kenal di Sydney meminta suami untuk membantu salah satu gereja di kota Bandung. Kenapa mesti dibantu? Katanya gereja ini kurang berkembang, jadi penginnya dilihat ada apa sebetulnya. Saya rasa ini jalan Tuhan.
Kami pun berangkat ke Bandung. Waktu kami tiba di Tol Pasteur, Bandung, saya melihat anak kecil yang digendong dan minta-minta di jalanan dalam kondisi hujan. Bayangkan, untuk mendapatkan uang, orang sampai rela mengorbankan anak kecil. Saya kontan menangis. Saya mengerti banyak orang miskin, tapi saya tidak bisa mengerti kenapa ada orang yang tega mengorbankan anaknya. Saya pun terus memikirkan hal ini. Setelah itu, ada lagi kejadian yang semakin membuat saya akhirnya memutuskan untuk membantu kaum papa.
Apa itu?
Di Bandung, saya diberi tempat tinggal di sebuah bangunan seperti ruko di pemukiman yang berdekatan dengan tempat pembuangan sampah. Banyak anak-anak yang bekerja sebagai pemulung, bermain di depan ruko sampai malam, tanpa ingat waktu. Kadang main bola dan kena pintu sehingga berbunyi keras, sering pencet-pencet bel, main gitar, dan lain-lain. Pokoknya sangat mengganggu. Saya pun kerap marah karena bayi saya jadi sering menangis karena kaget.
Suatu hari waktu saya ingin memarahi mereka, tiba-tiba suara hati saya bilang, ‘Jangan marah, coba bangun hubungan.’ Akhirnya saya membuka pintu dan bertanya, kok mereka enggak sekolah? Mereka menjawab enggak punya biaya. Spontan, saya menawarkan mengajari mereka bahasa Inggris. Mereka pun menerima dengan senang. Akhirnya, saya membuka pintu dan mempersilakan 5 anak untuk belajar bahasa Inggris di ruang makan.
Dari lima anak, jumlahnya kemudian berkembang menjadi delapan, kemudian sepuluh hingga lima belas anak. Tak lama, ada pula panti rehabilitasi di Lembang yang meminta saya mengajarkan bahasa Inggris kepada para staf. Semuanya saya berikan cuma-cuma.
>Lantas, apa yang terjadi?
Saya bertanya-tanya, untuk apa ya saya disuruh pulang ke Indonesia? Saya mendapatkan jawaban bahwa yang paling dibutuhkan orang miskin adalah keluar dari kemiskinan. Dan saya harus bisa membantu mereka untuk keluar dari kemiskinan, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan membuat taraf hidup mereka meningkat.
Sejak itu, setiap kali suami mendapatkan penghasilan, rutin 30% saya belikan sembako dan bagikan kepada masyarakat tidak mampu agar mereka bisa makan. Singkat cerita, pengusaha yang menggaji kami kemudian menawarkan kami kembali ke Australia dan membantu seorang pendeta yang akan membuka gereja.
Saat itu kami ditawari gaji 4.000 USD plus rumah dan mobil. Tapi kami menolak dan memilih kembali pulang ke Jakarta. Untungnya, tak lama saya ditawari sebuah perusahaan yang ingin membuka cabang di Jakarta. Mengetahui passion saya adalah membantu anak-anak jalanan dan anak-anak tidak mampu, mereka pun ikut membantu memberikan dana meskipun tidak full.
Kemudian?
Tahun 2007, saya mendirikan Yayasan Tangan Pengharapan. Awalnya dibantu keluarga, kemudian teman-teman. Sejak awal, karena tidak ingin donasi masuk ke rekening pribadi, maka ada rekening khusus yang bisa diaudit, sehingga semuanya transparan. Pelan-pelan dari sedikit dana yang masuk lama-lama semakin besar. Bahkan 60% donatur itu saya enggak kenal karena memang saya enggak pernah menyebarkan brosur. Dari sinilah saya mulai membuat program untuk Yayasan Tangan Pengharapan.
Program apa saja yang dijalankan?
Di Jakarta, saya membuka 8 feeding center, memberi makanan gratis dan bimbingan belajar gratis. Bulan Oktober 2007, ada 1.028 anak yang dilayani. Namun, bulan Maret 2008, program ini saya hentikan karena saya mendapati anak-anak jalanan ini tidak butuh makan. Mereka bahkan bisa kok mendapat uang Rp25.000-Rp300.000 per hari. Ini yang membuat mereka enggak mau sekolah dan banyak orangtuanya yang menyuruh anak-anak ini di jalan karena menguntungkan daripada belajar.
Karena putus asa dan kesal, saya pergi ke daerah pelosok yang minim bantuan. Sejak 2008, saya pergi dari satu pulau ke pulau lain untuk misi kemanusiaan. Dari Jawa Tengah, Halmahera, NTT, Papua, Mentawai, Kalimantan Barat dan terus menjelajahi pelosok Indonesia. Ada beberapa program yang saya buat, antara lain Feeding and Learning Center yaitu program pemberian makanan bergizi, pemberian pendidikan dan sarananya sampai keterampilan untuk masa depan yang lebih baik.
Saya juga membangun Children Resque Home yaitu asrama untuk anak-anak korban tindak kekerasan, anak-anak kurang mampu yang berprestasi, anak yatim piatu dan anak pedalaman yang tak memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan. Juga program kesehatan seperti pelayanan kesehatan dan operasi katarak gratis, serta klinik mobil .
Bagaimana perkembangannya saat ini?
Semua berkembang dan berjalan baik. Saya berusaha menjawab semua permasalahan dan kebutuhan daerah-daerah pelosok tersebut. Misalnya dengan memberikan modal usaha tanpa bunga, life training center atau program pelatihan singkat untuk mengajarkan berbagai keahlian. Ada juga pembangunan rumah sehat, pembangunan fasilitas MCK umum dan pengadaan air bersih, pelatihan tanggap bencana hinggasponsorship guru pedalaman.
Project terbanyak berada di NTT karena daerah ini memang miskin dan butuh bantuan.
Apa saja cerita menarik selama Anda turun langsung berkeliling Indonesia?
Banyak. Untuk mendekati para penduduk di pedalaman, saya biasanya langsung mendatangi kepala desa, kepala suku atau pemuka agama. Saat memperkenalkan yayasan, saya selalu menegaskan kepada mereka bahwa Yayasan Tangan Pengharapan datang atas nama kemanusiaan dan cinta kasih, tanpa kepentingan apa pun. Tidak atas nama gereja, agama atapun politik. Kebetulan saya juga mudah beradaptasi dan cepat menguasai kondisi daerah, termasuk logat setempat. Saya bersyukur karena sepertinya sudah didesain Tuhan hidup seperti ini. Semua saya pelajari otodidak sambil berjalan.
Bagaimana dukungan keluarga?
Anak kembar saya dan yang bungsu, Excell Young Kristianus (7), memiliki pengertian yang luar biasa. Mereka bangga dengan aktivitas yang saya jalani.
Memang, saya tidak melakukan kegiatan seperti perempuan pada umumnya, seperti berbelanja, ke salon, atau arisan. Saya hanya menggunakan waktu untuk keluarga dan yayasan. Saya memang tipe orang yang yang family oriented. Kegiatan ke daerah dalam sebulan maksimal dua kali, minimal lima hari. Selebihnya saya bersama anak-anak. Setiap hari, kami sarapan rutin jam 07.00 pagi. Anak-anak juga homeschooling. Sejak kecil mereka juga sudah melihat dan terlibat dengan semua kegiatan yayasan.
Apa lagi rencana yang masih ingin Anda wujudkan?
Saya akan terus mencari daerah-daerah yang belum terjangkau dan terus membangun sekolah. Inginnya sih bisa menginjakkan kaki ke seluruh pulau di Indonesia. Saya juga masih punya mimpi membuat penjara anak jalanan. Kedengarannya kejam ya? Tapi sebenarnya membiarkan mereka di jalanan itu jauh lebih kejam. Hidup mereka di jalanan itu keras sekali, mereka dikuasai preman, tidak bisa lari, orangtua juga memaksa menyuruh mereka berada di jalanan karena lebih menghasilkan. Nah, untuk melepaskan mereka dari orangtua dan preman, penjara justru menyelamatkan diri mereka. Penjara ini nantinya seperti asrama yang memberikan mereka berbagai pelatihan dan keterampilan sekaligus sekolah. Karakter mereka juga dididik. Kenapa namanya penjara? Itu hanya sebutan agar orangtua tidak bisa menjemput dan preman pun tak berani datang. Jadi, sebetulnya ini adalah tempat yang aman untuk mereka. Kalau bukan penjara, mereka pasti akan datang menjemput anaknya.
Swita Amallia
KOMENTAR