Dari waktu ke waktu, pesanan meningkat terus. Dari awalnya 4 botol, berkembang menjadi 8, 10, 20, 50, lalu tahu-tahu penjualan mencapai 100 botol setiap kali memasak. Ajaibnya, pesanan tak pernah berhenti datang hingga akhirnya setiap kali memesan jumlahnya mencapai Rp2 juta dalam waktu tiga bulan sejak pertama berjualan.
Memang sih, akhirnya bawaanku ke kantor jadi berat banget. Selain membawa kotak pendingin berisi botol ASI, aku juga menggendong ransel penuh berisi botol sambal. Ini kulakukan setiap hari dengan menumpang bus Trans Jakarta. Kalau bus sedang penuh, terpaksa aku berdesak-desakan dengan penumpang lain. Biasanya aku menangis sambil bertanya pada diri sendiri, apa sih yang kucari dalam hidupku? Pekerjaan yang bagus, aku punya. Buat apa aku bersempit-sempitan di dalam bus sambil membawa barang dagangan yang berat ini?
Belum lagi, aku harus melalui perjalanan panjang dan macet menuju rumah di Bekasi, padahal payudaraku sudah sakit karena ASI harus dipompa. Itulah saat-saat tak terlupakan. Suamiku sebenarnya sudah menyarankan untuk berhenti bekerja. Namun, aku masih mencoba bertahan. Alhamdulillah, menjelang bulan keenam, penjualan sudah mencapai 1.000 botol per bulan.
Praktis, kebutuhan akan ikan roa asap terus meningkat. Sampai-sampai, pemasok ikanku di Manado memutuskan untuk datang ke rumahku lantaran bingung, kok pesanan ikan terus meningkat drastis. Dia juga memastikan sanggup memenuhi berapa pun pesananku. Di sisi lain, dia bersyukur karena di Manado dia jadi punya UKM, bisa bekerja sama dengan nelayan lain.
Mengolah sambal dengan menggunakan blender sudah tak memadai lagi, pada bulan kelima aku mulai menggunakan mesin. Produksi pun makin banyak, hingga 2.000-3.000 botol per bulan. Ini membuatku mau tak mau harus memilih. Akhirnya aku memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan pada akhir Januari 2013, tepatnya delapan bulan setelah mulai berbisnis sambal. Sebetulnya, orangtuaku berharap tetap melihat anaknya bekerja di perusahaan besar, bukannya malah berjualan sambal.
Konsep Berbagi
Nah, agar ibuku tak keberatan aku berhenti kerja, kusogok dengan mendaftarkannya haji. Waktu itu, bapak sudah meninggal. Kuminta ibuku memilih, haji plus atau reguler, sambil kukatakan bahwa biaya haji itu kuambil dari hasil jualan sambal, bukan uang pesangon.
Setelah berhenti bekerja, aku makin serius mengelola bisnisku, termasuk mengonsep reseller, distributor, agen, dan rencana pemasaran. Setelah itu, pesanan langsung melejit jadi 10.000 botol. Larisnya sambal roaku tak lepas dari konsep berbagi yang kuterapkan sejak minggu pertama berjualan.
Aku mengajak teman-temanku menjadi reseller. Mereka cukup menjadi penjual saja dan mendapat keuntungannya. Ada yang dari lantai atas dan bawah. Kalau ada pembeli dari lantai mereka, kusarankan untuk mendatangi reseller saja dan bukan membeli langsung padaku. Sehingga, reseller juga berkembang.
Alhamdulillah, aku punya tabungan berupa teman yang banyak. Jadi, aku bisa menitipkan sambal roaku pada teman-temanku di kantor lain. Sejak awal, sengaja aku hanya membuat satu varian saja, agar orang bisa langsung mengenali sambalku. Setidaknya, untuk sementara ini dulu, meski ada permintaan dari pembeli untuk membuat varian lain.
O iya, sebelum akhirnya aku berhenti, aku sudah 10 tahun bekerja. Selain bekerja di perusahaan asuransi sebagai tenaga pemasaran dan beberapa bank, aku pernah pula mengajar di sebuah lembaga pendidikan, lalu terakhir di bagian budget control sebuah perusahaan operator seluler. Selama itu pula, tiada hari kulalui tanpa berdagang. Dari dulu, aku memang senang berdagang, bahkan sejak SMP. Waktu SMP, aku membuat cincin dari tali warna-warni yang diberi nama. Hasilnya bisa aku belikan sepatu seharga Rp36.000.
(BERSAMBUNG)
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR