Suasana yang padat dan hiruk pikuknya Jakarta seakan sirna saat memasuki gerbang Rusunawa Pesakih, Jakarta Barat. Delapan bangunan Rusunawa berdiri gagah menyambut kedatangan NOVA. Sore itu, anak-anak kecil bermain di antara gedung Rusunawa, sementara orangtua asik bertukar cerita. Lingkungan kompleks terlihat bersih dan modern, laiknya perumahan masa kini yang biasa terlihat di negeri seberang. Aroma optimisme terlihat dari warga yang bermukim di sana.
Seorang petugas keamanan bersafari biru datang menyapa dan mengenalkan seorang penghuni bernama Hari Susanto (73). Bersama anak dan cucunya, pria kelahiran Jawa Tengah itu mengaku sudah nyaman tinggal di Rusunawa Pesakih sejak Oktober 2014 lalu. “Soal nyaman atau tidak itu tergantung pada diri kita sendiri. Memang di sini ada beberapa kekurangan, tapi buat apa selalu dikeluhkan?” ungkap ayah 8 orang anak, kakek 11 cucu dan buyut dari 2 orang cicit ini.
Biaya sewa di tempat ini menurut Hari sangat terjangkau, “Mulai Rp187.000 sampai Rp281.000 per bulan. Harga disesuaikan dengan posisi lantai. Semakin atas, semakin murah. Hanya saja air yang ada sekarang belum bisa untuk masak dan minum. Ke depan katanya akan membaik, sekarang masih diperbaiki. Semua itu butuh proses, sabar saja.”
Harga itu tentu lebih murah dibandingkan bila mengontrak di luar. “Mengontrak satu kamar saja sekarang mungkin bisa Rp300.000. Sementara di sini dengan harga yang lebih murah, bisa dapat dua kamar tidur. Saya tinggal dengan istri dan dua orang anak,” lanjut Hari.
Hanya saja, “Di sini kami bisa dibilang belum mapan karena enggak tahu mau usaha apa. Dulu saya berdagang nasi untuk para pedagang nasi goreng, sekarang saya belum memiliki pekerjaan. Untuk hidup sehari-hari saya dibantu anak-anak yang sudah bekerja. Mulai pertengahan tahun ini saya memanfaatkan lahan di bawah gedung tempat tinggal untuk menanam. Awalnya hanya untuk penghijauan saja. Eh, enggak tahunya keterusan. Sekarang saya malah jadi petani,” akunya sambil tertawa.
Dianggap Merusak
Walau datang dari berbagai wilayah di Jakarta Barat yang berjauhan seperti Rawa Buaya, Palmerah dan Kebon Jeruk. Hari mengaku di lokasi ini mereka dapat hidup berdampingan dengan damai. Bahkan, Hari mampu mengumpulkan beberapa warga yang memiliki ketertarikan untuk berkebun dan bertani. Bersama, mereka memanfaatkan lahan terbuka untuk menanam sayur, buah dan tanaman obat. “Alhamdulillah semua berjalan dengan baik,” ungkapnya.
Awal September lalu, langkahnya didukung Pemkot Jakarta Barat. Sudin Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan (KPKP) Jakbar bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DKI Jakarta mengenalkan teknologi pertanian vertiminaponik.
Teknologi ini dianggap cocok untuk dikembangkan di daerah perkotaan dengan lahan terbatas karena menggabungkan pertanian dan perikanan. “Selain diberi bimbingan, kami juga mendapat bantuan unit vertiminaponik, pupuk, tanaman toga, bibit sayur dan buah,” kata Hari yang dulu menghuni rumah di kawasan Stasiun Kereta Api Pos Duri, Jakarta Barat.
Sebelum mulai bertani sayur, Hari menanam beragam tumbuhan obat agar dapat digunakan mereka yang membutuhkan secara cuma-cuma. “Enggak bohong, yang minta tanaman obat ini bukan hanya mereka yang tinggal di sini. Bahkan saya pernah kirim sampai Sumatera. Saya enggak jual tanaman obat ini, saya hanya berharap dengan tanaman obat itu mereka bisa sembuh dan semakin bersyukur pada Tuhan.”
Hari tidak pernah membayangkan upayanya akan menjadi seperti sekarang. ”Soalnya saat mulai menanam tanaman obat ini justru saya dizalimi. Saya pernah dilaporkan ke Dinas Perumahan karena perbuatan saya dianggap melanggar aturan, bahkan dibilang merusak.”
Namun, lanjutnya, “Sekarang saya bersyukur sekali karena dapat dukungan dari Dinas. Lihat saja sekarang sudah hijau, silakan keliling dan melihat apa yang sudah kami lakukan. Pada panen sayur pertama dan kedua, seluruh warga dapat menikmati secara gratis. Tapi untuk panen ketiga ini sudah tidak gratis. Karena kemarin saya hanya ingin memberi contoh sekaligus mengajak mereka yang ingin bertani,” bebernya.
Selain membangun komunitas pertanian, Rusunawa Pesakih juga memiliki berbagai kegiatan positif, mulai dari olahraga sampai kegiatan keagamaan. “Contohnya pengajian rutin malam Senin dan malam Jumat yang digelar bergantian dari blok ke blok. Kerja bakti juga rutin setiap akhir bulan untuk menjamin kebersihan lingkungan.”
Kembali Merintis Usaha
Seperti Rusunawa Pesakih, Rusunawa Jatinegara juga masih terus berbenah. Sudah lebih dari satu bulan, Rusunawa yang terdiri dari dua menara dengan 16 lantai itu dihuni oleh mantan warga Kampung Pulo. Lantai tiga hingga lantai 16 dijadikan tempat tinggal, sementara lantai satu dan dua digunakan sebagai musala, PAUD, Taman bermain, Posyandu, Food Court, lokasi niaga dan untuk kegiatan umum lainnya.
Desain bagunan Rusunawa ini minimalis, sederhana namun tetap terlihat mewah. Walau tidak ada perangkat pengatur suhu ruangan atau AC, setiap sudut bangunan terasa sejuk dan jauh dari pengap. Konsep rancang gedung ini sepertinya memang sengaja membuat sirkulasi udara segar mengalir dengan baik dan bebas.
Demi menambah dan menjamin rasa aman penghuninya, Rusunawa Jatinegara juga sudah dilengkapi dengan alarm asap yang akan segera memberi sinyal ketika terjadi kebakaran. Selain telah memberi pelatihan kepada penghuni, pemerintah juga menyiapkan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dibeberapa titik strategis.
Untuk bisa tinggal di tempat ini, warga dipungut biaya sebesar Rp300.000 setiap bulan. Biaya tersebut digunakan untuk Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) seperti kebersihan dan keamanan, tidak termasuk listrik dan air. “Tapi kami masih diberi gratis selama 3 bulan, jadi sekarang belum bayar uang sewa,” ungkap Uming (59) penghuni menara B Rusunawa Jatinegara.
Serupa dengan Rusunawa Pesakih, setiap unit di Rusunawa ini memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tamu yang juga lengkap dengan dapur dan tempat menjemur pakaian. Karena terhitung tinggi dan demi memudahkan penghuni beraktivitas, masing-masing menara di Rusunawa ini memiliki fasilitas lift penumpang dan barang.
Karena masih baru, Uming, ayah lima anak, merasa butuh waktu untuk beradaptasi dengan tempat tinggal barunya. “Beda sekali dengan rumah saya dahulu, belum lagi ada sedikit perasaan was-was tinggal di gedung bertingkat seperti ini. Selain itu, karena harus diundi saya enggak bisa tinggal berdekatan dengan anak saya yang kemarin dapat undian di tower A,” terang kakek empat cucu itu.
Di tempat ini, Uming merintis usaha baru demi menghidupi keluarganya. “Dulu saya punya warung kopi. Sekarang saya dan istri membuka warung kecil-kecilan. Lumayan ada penghasilan walau sedikit. Saat ini belum ada kegiatan lain, belum tahu juga mau bikin apa selain dagang seperti ini,” tukas Uming yang berharap ada peluang usaha lain guna meningkatkan perekonomian keluarganya.
Edwin F. Yusman
KOMENTAR