Pesawat Aviastar jenis Twin-Otter dengan nomor penerbangan MV 7503 dari Massamba menuju Makassar jatuh di pegunungan Latimojong, Luwu, Sulsel, Jumat (2/10/2015) lalu. Pilot Iriafriadi, Kopilot Yudhistira, Mekanik Soekris Winarto bersama tujuh penumpang tewas. Saat ditemukan di hutan di kawasan pegunungan Latimojong, Luwu, Sulsel, kondisi pesawat hancur berantakan dan habis terbakar. Berikut curahan hati Hj. Siti Hadijah (48), ibunda korban Nurul Fatimah dan kedua anaknya, saat ditemui NOVA di rumahnya di Jl. Sunu, Makassar, Senin (12/10). Aku nyaris tak percaya bakal mendapat musibah seberat ini. Tak ada firasat apapun sebelum pesawat yang membawa anakku Nurul Fatimah (26) bersama kedua cucu tercintaku, Rayya Adawiyah (3) M. Rafli Afif (1 tahun 8 bulan), jatuh.
Sebenarnya, di hari naas itu Nunung, begitu kami biasa memanggilnya, tidak mau bilang kalau mau pulang. Dia pengin memberi kejutan buatku. Nunung sehari-hari bertugas di Bandara Andi Jemma di Massamba. Siang hari sebelum pulang, dia menghubungi bapaknya, H. Muhajir Mustafa, meminta dijemput pukul 12.00 di Bandara Hassanudin, Makassar. “Tapi Bapak jangan bilang Ibu karena saya mau ngasih kejutan,” begitu kata Nunung kepada bapaknya.
Namun, karena kesibukan kerja dan ada rapat, suamiku tidak bisa menjemput dan meminta anak ketigaku, Nurul Fadillah, menggantikan menjemput Nunung. Sama dengan bapaknya, Fadillah pun tidak mau cerita soal kepulangan Nunung karena pengin memberi surprise.
Menjelang naik pesawat, Nunung masih sempat menghubungi Fadillah yang akan menjemputnya. “Dik, aku sudah di dalam pesawat. Tunggu aku ya,” kata Nunung. Tapi herannya, setelah ditunggu hingga pukul 13.00, pesawat Aviastar yang seharusnya sudah tiba belum juga mendarat, bahkan sampai sore hari tidak ada kabar beritanya.
Hilang Kontak
Baru sekitar pukul 17.00, suamiku mendapat kabar dari temannya bahwa pesawat Aviastar dari Massamba menuju Makassar hilang kontak. Seketika itu suami menelepon Fadillah yang masih menunggu di bandara agar pulang karena pesawat Nunung di-cancel. Dia juga tidak bilang ke Fadillah kalau pesawat hilang kontak biar dia tidak panik.
Setelah tiba di rumah, kepadaku suami menyampaikan dengan kalimat halus. “Ibu sehat? Sudah makan Bu?” tanya suamiku. “Alhamdulillah sehat Pak, habis makan kok,” jawabku. Terbersit rasa aneh mendengar pertanyaan itu. Ganjil. Tidak biasanya suamiku bertanya seperti itu. “Memang ada apa, Pak?” tanyaku. “Ibu yang sabar ya, mari kita semua terus berdoa. Pesawat yang ditumpangi Nunung bersama kedua anaknya tadi siang hilang kontak,” jawabnya dengan wajah penuh kepasrahan.
Begitu mendengar kabar itu, sontak mataku gelap, histeris, dan tak ingat apa-apa lagi. Batinku tak bisa menerima, apalagi ikhlas. Sehari sebelumnya Nunung masih menghubungiku, memberi berbagai kabar baik, tapi kok tiba-tiba dikabarkan pesawat yang ditumpanginya hilang. Aku tidak percaya! Ketika berbicara dengan Nunung beberapa waktu sebelumnya, aku sampaikan bahwa beberapa hari ini aku agak tidak enak badan, demam. Mungkin karena aku memendam rindu pada Rayya, cucuku.
Sangat Dekat
Sejak usia delapan bulan, akulah yang mengasuh Rayya hingga saat ini. Rayya mulai kuasuh saat Nunung hamil muda anak kedua dan suaminya, Kamarudin Usman, yang berdinas di Bandara Andi Jemma Massamba, mendapat tugas belajar Air Traffic Control (ATC) selama 2 tahun di ATKP Makassar. Karena khawatir Rayya tidak ada yang mengasuh, ia pun kubawa ke Makassar. Kadang dua atau tiga minggu sekali Nunung ke Makassar, bertemu Rayya dan suaminya. Sementara Nunung di Massamba bersama Rafli anak keduanya.
Tiga minggu sebelumnya, Rayya dibawa ibunya ke Massamba karena di Makassar tidak ada yang menunggui. Anak keduaku, Nurul Fauziyah, yang kuliah di Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan Makassar lulus dan diwisuda di Jakarta. Jadinya, aku ikut mendampingi ke Jakarta.
Tapi, setelah kembali ke rumah, rasanya kok ada yang kurang tanpa kehadiran Rayya. Karena sejak bayi tinggal bersamaku, hubungan kami jadi sangat dekat, tak pernah pisah. Dari bangun tidur sampai tidur lagi cucuku ini selalu bersamaku. Karena itu batin kami sangat dekat. Makanya, ketika aku mendapat kabar musibah itu, tubuhku rasanya seperti tanaman yang dicabut dari akarnya. Mendadak lemas, tak bisa berdiri.
KOMENTAR