Aku syok berat. Bahkan, kata anak-anak, selama pesawat itu belum ditemukan, kejiwaanku benar-benar terguncang, seperti orang linglung. Aku tak peduli orang-orang di sekitarku. Rasanya saat itu Rayya masih ada. Pagi hari kubuatkan dia susu seperti yang biasa kulakukan. Demikian pula kalau ada orang berisik, aku minta mereka berhenti bicara supaya tidak mengganggu Rayya yang tengah tidur. Pokoknya, jiwaku benar-benar tak karu-karuan.
Nasihat Menantu
Aku baru mulai “tersadar” tiga hari setelah kejadian saat menantuku, Kamarudin, datang ke rumah. Kamarudinlah yang justru menenangkanku. Ada kalimat menantuku yang sangat menyentuh dan mampu menyadarkanku. “Kalau Ibu tidak ikhlas, pesawat yang ditumpangi Nunung tak akan bisa ketemu, Bu. Ibu masih mending, tidak ada Nunung masih ada tiga anak lainnya. Nah saya, semua sudah habis. Istri dan kedua anak saya semua tidak ada,” begitu ucap Kamarudin dengan suara lembut. Mendengar ucapan menantuku yang amat menyentuh, aku langsung tersadar. Sejak itu aku berusaha ikhlas.
Alhamdulillah, keesokan harinya aku mendapat kabar bahwa pesawat yang jatuh sudah ditemukan di tengah hutan di kawasan pegunungan Latimojong, Luwu, Sulsel. Setelah dievakuasi, baru Rabu (7/10) tengah malam jenazah Nunung tiba di rumah dan langsung dimakamkan. Selang beberapa saat, Kamis (8/10) dinihari, jasad kedua cucuku Rayya dan Rafli tiba di rumah. Yang membuatku tak habis pikir, begitu jasad Rayya dan Rafli tiba di rumah, seketika itu juga aku seolah punya kekuatan. Mendadak aku mampu berdiri menghampiri peti jenazah kedua cucuku yang sangat kucintai itu...
Aku memang sangat dekat dengan cucuku. Ketika Rayya berada di Massamba, setiap hari Nunung tak pernah absen mengirim rekaman aktivitas keseharian kedua cucuku melalui handphone. Dari mereka mandi, makan, sampai ketika mereka berceloteh dan mengaji. Rafli memang belum banyak bicara seperti Rayya sebab baru berusia 1,8 bulan. Beda dengan Rayya yang sejak kecil memang menggemaskan. Ketika berusia dua tahun saja dia sudah hapal surat-surat pendek Alquran.
Berubah Sikap
Yang tak kalah pedih tentu menantuku. Seandainya saja tidak terjadi musibah, saat itu adalah saat yang membahagiakan baginya. Sebab, tiga minggu lalu dia baru lulus dan mulai berkumpul bersama anak istrinya. Sayang, musibah keburu datang.
Ada cerita mengharukan yang disampaikan menantuku. Saat Nunung hendak berangkat ke Makassar, Kamarudin menuntun Rayya dan Nunung menggendong Rafli sampai di dalam pesawat. Saat mau berpisah, Nunung sempat berucap lembut, “Sayang, sudah lama kita tidak ketemu. Doakan saya ya,” kata Kamarudin menirukan ucapan terakhir istrinya sebelum keluar dari badan pesawat.
Aku sendiri tak bisa membayangkan perasaan Kamarudin. Di balik sikapnya yang pendiam serta penuh ketabahan, ia pasti amat terguncang. Apalagi selama ini rumah tangganya sangat harmonis. Nunung sangat sayang kepada anak-anak dan patuh pada suami. Nunung memiliki pribadi yang baik. Dia anak sulung yang bisa dijadikan teladan bagi adik-adiknya.
Meski hanya menjadi PNS golongan II dengan gaji kecil, tetapi setiap gajian selalu dihabiskan untuk dibagi kepada adik-adiknya. Kalau pas pulang ke Makassar, ketiga adiknya dia ajak makan keluar serta dibelikan pulsa. Begitu waktunya pulang ke Massamba, biasanya yang membelikan tiket pesawat adalah adikku Hj. Halimah, yang selama ini sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Bagi Halimah, Nunung sudah dianggap seperti anaknya sendiri karena ia tidak dikarunia anak. Karena itu, dalam keseharian Nunung memanggil tantenya itu dengan panggilan “Mama”.
Kepada Halimah, Nunung selalu mengatakan, “Mama, doakan Nunung banyak rezeki ya. Kelak Mama tidak usah bekerja, beribadah saja nanti aku yang membantu kehidupan Mama,” demikian ucapan Nunung kepada Halimah. Karena itu, bukan aku saja yang berduka, adikku Halimah juga sangat terpukul.
Yang aku amati, belakangan ini memang ada perubahan sikap pada Nurul. Selepas bulan puasa lalu, tak hanya ibadah salat dan mengaji saja yang rajin ia jalankan, tetapi dalam hal penampilan pun berubah. Dia mulai mengenakan jilbab panjang dan kaus kaki. Pokoknya tak mau kelihatan auratnya. Melihat perubahan itu, aku sempat menasihati supaya tidak perlu terlalu ekstrem. Seorang muslimah itu, kataku, yang penting ditata dulu hatinya. Tapi dia menjawab, “Tidak Ma, muslimah itu selain menata hati juga harus menjaga auratnya,” jawabnya.
Nunung juga dikenal sangat supel dalam pergaulan sehari-hari. Ia pandai bergaul dengan siapa saja dan punya banyak teman sejak dulu, baik lelaki maupun perempuan. Karena tak pernah membeda-bedakan itulah dia disukai kawan-kawannya. Tak hanya itu, kepergiannya juga memukul para sahabat dan tetangga di kompleks perumahan di Massamba. Kebetulan, salah seorang korban lain pada penerbangan nahas itu adalah Lisa, sahabat Nunung.
Kini, setelah musibah itu, aku tak pernah putus berdoa, meminta agar Nunung mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Begitu pula kedua cucuku yang masih polos tanpa dosa, semoga dijadikan malaikat Allah.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR